Sabtu, 16 Mei 2009

Apa yang Membuat Anda Bahagia?

Oleh Selfy Parkit


Apa yang membuat Anda bahagia? Setiap orang memilih jawaban tersendiri dalam meraih kebahagiaannya. Suatu hari pada saat rapat mingguan di sekolah tempat saya bekerja, kepala sekolah saya mengajukan sebuah pertanyaan kepada para guru dalam bahasa Inggris. Kurang lebih pertanyaan seperti ini “Hal apa yang membuat Anda bahagia?” Orang pertama yang menjawab pertanyaan ini dengan mantap menyebutkan bahwa pacarlah yang membuatnya bahagia. Maklum orang yang bersangkutan memang belum mempunyai pacar, sudah tentu jika saat ini dia sangat berharap agar dapat menemukan wanita yang mau jadi pacarnya, dan hal itulah yang akan membuatnya bahagia. Lalu sebagian besar dari para guru menjawab bahwa hal yang membuat mereka bahagia adalah bisa berkumpul dengan keluarga atau orang-orang yang dicintainya, seperti orang tua, anak, suami, dll. Tentunya jawaban ini memang umum diutarakan oleh setiap manusia, karena pada dasarnya manusia akan merasa nyaman jika dapat hidup dan berkumpul dengan orang yang mereka sukai dan cintai. Namun, jawaban tersebut tidaklah mutlak diutarakan oleh semua orang. Tidak selamanya keluarga sendiri menjadi prioritas dan membuat mereka bahagia. Ada kalanya berkumpul dengan orang lain membuat diri mereka merasa nyaman dan bahagia. Begitu juga dengan sebagian guru yang menjawab kalau temanlah yang membuatnya bahagia. Lalu hal apa yang membuat saya bahagia? Dari sekian banyak guru-guru yang ditanyakan, akhirnya tibalah giliran saya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Awalnya saya tidak tahu hal apa yang benar-benar membuat saya bahagia, karena saya pikir semua jawaban dari guru-guru sebelumnya memanglah hal yang membuat saya juga bahagia. Akan tetapi, semua itu tidaklah selamanya benar, karena terkadang saya merasa tidak bahagia, walaupun saya sedang berkumpul dengan teman-teman atau keluarga saya. (Lagi pula kalau jawabannya sama nanti dikira ikut-ikutan J). Perlu beberapa detik bagi saya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sampai kemudian saya teringat akan sesuatu, dan serentak saya menjawab dalam bahasa Inggris, “I’ll be happy if I can sleep well” yang artinya “Saya akan bahagia, jika saya dapat tidur dengan nyenyak.” Memang jawabannya agak sembarang, sampai-sampai sebagian guru yang lain ada yang tertawa setelah mendengar hal tersebut. Si kepala sekolah pun mungkin sedikit bingung, dan menanyakan apakah saya pernah punya masalah susah tidur. Walaupun saya memang pernah punya masalah tidak bisa tidur nyenyak selama 3 bulan dan itu adalah saat-saat dimana saya tidak bahagia, namun semata-mata bukan itu alasan atas jawaban saya. Karena menurut saya orang yang pasti bahagia adalah orang yang bisa tidur dengan nyenyak. Entah dia punya atau belum punya pacar, miskin atau kaya, berjabatan tinggi atau rendah, berkeluarga atau tidak, jika dapat tidur nyenyak (tidak ada kegelisahan, ketakutan, dan kekhawatiran) saat itu pasti dia orang yang berbahagia. Karena orang yang tidak bahagia pasti tidak dapat tidur dengan nyenyak. Materi, keluarga, teman ataupun pacar tidak bisa menjamin seseorang untuk bahagia dan bisa tidur dengan nyenyak. Namun, perlu ditekankan bahwa bukan karena tidurlah kita akan bahagia (walaupun tidur memang salah satu kondisi dalam meraih kebahagiaan duniawi). Tetapi sebaliknya karena merasa bahagialah kita bisa tidur dengan nyenyak. Dengan kata lain, tidur nyenyak adalah efek dari kebahagiaan. Lalu sebenarnya apa yang dapat membuat kita bahagia dan dapat tidur dengan nyenyak? Ada satu cerita yang saya pernah dengar dari seorang penceramah. Cerita ini tentang orang kaya yang memiliki segalanya. Ia memiliki harta yang berlimpah. Bisnis dan perusahaannya pun tersebar dimana-mana. Ia juga memiliki keluarga, istri yang cantik dan setia beserta anak-anaknya yang lucu-lucu. Temannya dimana-mana, begitu juga dengan pembantu rumahnya yang siap melayaninya kapan pun. Namun, karena pekerjaannya yang luar biasa sibuk, membuat ia harus bekerja keras siang dan malam. Tak pelik pikirannya hampir setiap hari gelisah memikirkan untung dan rugi. Terlebih lagi rasa takutnya, baik itu takut tertipu dalam bisnisnya ataupun takut akan kehilangan harta, istri, anak dan semua yang dimilikinya. Ketakutan dan kegelisahan inilah yang membuatnya tidak pernah bisa tidur nyenyak, dan sudah pasti saat itu dia tidak bahagia. Kemudian suatu malam, karena tak bisa tidur ia berjalan-jalan dengan mobil terbarunya. Saat itu ketika mobilnya melintasi sekumpulan pangkalan becak di pinggir jalan, ia melihat seorang tukang becak yang sedang tidur dengan lelap di atas becaknya. Melihat wajah si tukang becak itu, si orang kaya tadi berkata di dalam hatinya, ‘Dia yang mungkin tidak punya segalanya dapat tidur dengan nyenyak di atas becaknya, sedangkan Aku yang punya segalanya, bahkan ranjang mewah dan empukku tidak dapat membuatku tertidur dengan nyenyak. Betapa bahagianya tukang becak tersebut.’ pikir si orang kaya. Apakah harta kekayaan, kedudukan, teman, keluarga, atau pacarkah yang dapat membuat kita bahagia? Rata-rata setiap orang menjawab bahwa mereka akan bahagia jika mereka seperti ini, mendapatkan ini, melakukan ini, menyelesaikan ini, mempunyai ini dan lain sebagainya. Tidak heran memang, terkadang kita senang mencari kebahagiaan di luar dari lingkungan dan diri kita sendiri. Kita lupa akan satu hal kalau kebahagiaan itu datangnya dari diri sendiri. Mau punya pacar atau tidak, mau berkumpul dengan keluarga, teman, atau orang yang dicintai, bahkan melakukan kegiatan yang biasanya kita senangi seperti berbelanja misalnya. Hal itu semua tidak menjamin kebahagiaan kita selama diri kita resah, gelisah, takut dan memang merasa tidak bahagia seperti si orang kaya tadi. Lalu apakah kebahagiaan itu hanya dapat kita raih jika keinginan kita sudah terlaksana atau terpenuhi? Apakah kita harus menunggu datangnya sesuatu atau mendapakan sesuatu, baru kita akan bahagia? Contohnya saja seorang guru yang menganggap hal yang membuatnya bahagia adalah mendapatkan seorang pacar. Mengapa harus menunggu mendapatkan pacar baru bisa bahagia? Lalu apakah ada jaminan jika ia mendapatkan pacar saat itu ia akan merasa bahagia? Bagaimana jika seandainya ia mendapatkan pacar, tetapi secara terpaksa karena dijodohkan oleh orang tuanya misalnya, dan ia tidak suka dengan pacarnya itu? Jika saat ini kita bisa bahagia, mengapa saat ini juga kita tidak menikmati kebahagiaan itu!? Sesungguhnya, berkumpul dengan orang yang kita cintai dan senangi pun bukan jaminan untuk bahagia, sama halnya dengan memiliki harta kekayaan dan lain sebagainya. Karena sekali lagi kebahagiaan ada di dalam diri kita sendiri saat ini, bukan yang lalu ataupun dari yang akan datang. Kebahagiaan hadir tidur pun menjadi nyenyak.

“Pavivekarasaŋ pitvā rasaŋ upasamassa ca niddaro hoti nippāpo Dhammapītirasaŋ pibaŋ” –Dhammapada BAB XV:205 (15:10)

“Ia yang menikmati hidup dalam kesendirian dan merasakan ketenangan karena tiada noda, terbebas dari kesedihan, terbebas dari kejahatan. Ia mereguk kebahagiaan hidup dalam Dhamma”

Naskah ini dimuat di Majalah Sinar Padumuttara edisi 5Thanks to My MoM,Ce2k&Friends

Bangkai Tikus

Oleh Selfy Parkit


Kekesalan ini membawaku kepada kemarahan. Beberapa hari yang lalu di kamarku terjadi sesuatu yang menghebohkan. Di sore hari ketika aku sedang menikmati istirahatku tiba-tiba adik perempuanku berseru sambil memprotes dan memecahkan keheningan tidur soreku. “Bau..” begitu katanya, kamarku bau tikus mati alias bangkai tikus. Aku yang akhirnya terbangun dari tidurku berusaha dengan keras menarik nafas, mencari tahu kebenaran kata-kata adik perempuanku. “Mana, ga bau kok!”, seru ku sambil mengendus-enduskan hidungku. Lalu, karena sudah terbangun dari tidur, tak ada lagi yang dapat aku lakukan di kamarku selain berbaring. Namun karena bosan dan tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat aku pun beranjak meninggalkan kamar tidurku dan lari ke ruang tamu. Aku duduk dengan tenang sambil menonton televisi acara reality show. Beberapa saat kemudian perut ini terasa lapar dan meminta jatah hariannya. Aku pun mengisi perut ini tanpa lagi memikirkan si bangkai tikus yang bau itu, yang sedang menyebarkan kebauannya di dalam ruangan kamarku yang cukup kecil itu. Selesai bersantap sore, sekali lagi aku diributkan oleh gerutuan-gerutuan adik perempuanku persoalan bau yang masih saja sama. “Kenapa masih saja menggerutu! Ya, dicari dong di mana bangkai tikusnya.” kataku sambil menghampirinya. “Besok aja, udah sore ribet.” Jawab adikku enteng. “Kalau ntar mau tidurnya bau-bauan, ya udah!” seruku cuek. Lalu ketika berpikir sejenak, adikku ini pun masuk ke dalam rumah, dan tak lama kemudian ia pun berteriak memanggilku, “Kak, cepetan sini bantuin aku dong!” Ternyata seketika pikirannya pun berubah, tak mau menunggu waktu yang ada untuk menyelesaikan permasalahan bau yang mengganggunya. Apalagi tidur bersama dengan bau yang menyengat dan membangkitkan selera untuk marah-marah menyalahkan tikus yang sudah mati itu.

Sedikit demi sedikit dan satu persatu dikeluarkannya barang-barang yang ada di kamar tempat tidur kami itu. Mulai dari meja kecil, rak-rak buku, kardus-kardus bekas miliknya yang ternyata sudah tak terpakai lagi sampai dengan lemari yang kurang lebih isinya buku-buku dan barang-barang lainnya pun mendapat giliran untuk berpindah dari tempatnya. Setelah sebagian besar dari barang-barang tersebut sudah keluar dari kamar, seketika bau bangkai tikus itu pun sudah tidak tercium lagi di dalam kamar kami, melainkan pindah menyebarkan aromanya di ruang tamu tempat kami menaruh barang-barang tersebut. Sebagian dari orang-orang di rumahku mulai heboh, ada yang berpendapat ini dan itu, ada yang mengusulkan ini dan itu. Namun tak satu pun dari mereka yang turun tangan untuk membantu, karena takut akan melihat bangkai tikus yang jelas-jelas sudah tentu mati. Dengan gerutuan yang masih saja mendesis, di tambah lagi dengan rasa sedikit takut dan geli, adikku pun perlahan-lahan mencari-cari bangkai tersebut. Dibongkar dan dipisahkannya barang-barangnya yang sudah tak terpakai itu untuk dikumpulkan. “De, lebih baik barang-barang yang tak dipakai itu dibuang saja, atau kalau ada barang yang masih layak pakai tapi tidak dibutuhkan lagi lebih baik dikasih orang saja!” teriakku sambil membersihkan barang-barang yang ada di dalam kamar dan merasa kesal mendengar gerutuan-gerutuan adikku yang tak ada habisnya itu, ‘Bukannya di cari malah menggerutu terus’ pikirku. Saat itu kemarahan pun mulai timbul dan hampir memecahkan pengendalian diriku. Terlebih lagi melihat kamar kami yang memang agak sedikit berantakan karena sudah lama tidak mengalami pembersihan besar-besaran membuat beban pikiranku semakin bertambah. Mengapa selama ini masing-masing dari kami selalu saja melemparkan tugas dan tanggung jawab untuk membersihkan kamar tersebut, saat itu aku mulai menyesalinya.

Satu persatu barang yang sudah tak bermasalah dan tak ada bangkai tikus di dalamnya dimasukkan kembali ke dalam kamar, begitu juga dengan barang-barang yang tak terpakai, dikumpulkan dan dibuang ke dalam tong sampah. Dengan begitu akan semakin mudahlah pencarian bangkai tikus kami. Sampai akhirnya teriakan histeris pun terdengar di tengah-tengah ruang tamu. “Ah..ah.. ka, ini-ini bangkainya sudah ketemu!”, seru adikku sambil meringis kegelian dan menunjuk-nunjuk ke arah bangkai tersebut. Bangkai dari anak tikus yang baunya dipermasalahkan itu bersembunyi di dalam keranjang tumpukan pakaian kotor. Seketika rasa kesal kami pun lenyap bersamaan dengan dibuangnya bangkai tikus kecil yang menyebarkan bebauannya itu, sebau rasa kesal kami yang akhirnya menyebabkan kemarahan. Dengan begitu, kamar kami pun terbebas dari bau-bau yang menyengatkan. Namun, tidak dengan pikiran kami yang masih suka terusik dengan kekesalan dan kemarahan hanya karena bau dari bangkai seekor tikus.

Sesungguhnya bangkai tikus itu seperti kekotoran batin di dalam diri kita yang harus dibersihkan. Untuk membersihkannya kita harus sabar dan perlahan-lahan mencari tahu dan mengenali si kekotoran batin tersebut hingga akhirnya bisa kita bersihkan yaitu dengan belajar dan berlatih atau mempraktikannya. Di dalam pelatihan dan pembelajaran itu, kita akan banyak menemukan hal atau ajaran dan orang-orang yang akan memberikan petunjuk dan saran-saran. Akan tetapi, tak banyak dari mereka yang bisa dan mau turun tangan untuk membantu kita dalam membersihnya. Kita sendirilah yang harus lebih giat berusaha dan tidak selalu menggantungkan diri terhadap makhluk lain. Selain itu juga akan ada banyak ajaran-ajaran yang mengaku kebenaran, yang mendorong kita untuk berpikir lebih bijaksana. Hingga akhirnya kekotoran batin tersebut bisa kita buang dari batin ini dan kebahagiaan pun akan datang mengisinya. Namun, jangan sampai bau dari bangkai tikus itu kembali merusak kebahagiaan kita.

Thanks to My MoM&Friends

PERUBAHAN


Tertegung sendiri melihat lalu-lalang orang yang keluar masuk bioskop membuatku sedikit terhibur. Dikala ku menunggu seseorang walaupun tak special, tetapi sangat berarti dan kukasihi, membuat waktu terasa lama. Sedetik seakan satu jam bila pikiran mulai gelisah. Di dalam keresahan itu sepintas ingatan menghampiri dan menyapaku untuk masuk ke dalamnya. Kenangan manis, masa kecil yang indah, ingatan yang memalukan, sampai dengan keadaan berat yang Aku hadapi akhir-akhir ini, semua hadir memenuhi pikiranku. Aku tak tahu seberat apakah masalah yang Aku hadapi, karena sebagian orang mungkin menganggap hal ini hanyalah sebuah masalah. Kadar dan tingkatnya suatu masalah memang tergantung dari personal masing-masing, tapi yang ku alami mungkin terlalu berat bagiku.

Sebagai anak dari seorang pengusaha kaya yang baru saja jatuh miskin, ini pertama kalinya Aku merasa duniaku akan berakhir dan Aku seakan ditinggalkan oleh semua orang yang ku kenal. Namun disela kesedihanku, Aku berusaha untuk tetap merasa tegar dalam mengatasi hal-hal tersebut. Walaupun rasa sakit bergejolak di dalam dadaku, Aku mencoba untuk tetap tenang dan berpikir, menangis bukanlah sebuah jawaban. Tetapi, sebagai insan biasa yang masih memiliki berjuta emosi Aku pun tertunduk tak berdaya. Kian lama kian hari keputuasaan mulai bermunculan, keegoisan mulai berdatangan, emosi mulai menguasai diri, sampai akhirnya sedikit pun Aku tak mengenal siapa diriku dan apa yang terbaik untukku. Aku meraba-raba, mencari sana dan sini, di manakah kebenaran yang sesungguhnya, di manakah kedamaian berpijak, dan di manakah akhir dari penderitaanku ini. Sampai akhirnya Aku menyadari di sinilah hukum perubahan berperan. Semua yang pernah Aku pelajari dan ketahui seakan hilang pada detik-detik di mana kesadaranku mulai melemah. Ternyata semua itu hanyalah konsep-konsep yang tidak tertanam di dalam sanubariku, hingga akhirnya terlupakan. Begitu pula dengan masalah dan penyakit batin yang menghantuiku, muncul lalu lenyap dan terlupakan untuk sesaat. Kemudian muncul kembali dengan segudang tantangan yang harus dihadapi. Fenomena yang tidak akan berhenti sampai Aku dapat menyelesaikannya.

Ingatanku tertarik kembali pada sebuah jam yang ada di pergelangan tangan kiriku, waktu menunjukan lima belas menit sudah berlalu dan Aku semakin gelisah. “Ah… ada apakah gerangan dengan Abang angkatku itu!”. Pembawaannya yang cuek membuatku sedikit khawatir kalau-kalau dia sengaja membuatku menunggu lama di sini dan bukan hanya itu saja, sifatnya yang jahil bisa saja membuatnya mengerjaiku untuk semalaman menungguinya di bioskop. “Tetapi tidak mungkin Abangku setega itu,” pikirku. Abangku orang baik, sifat dan pembawaan uniknyalah yang selama ini banyak membuatku terhibur, kurang lebih membuatku sedikit tersenyum. Karakternya yang hampir tak pernah serius, terkadang membuat dirinya kesulitan dalam berkomunikasi dan menyampaikan sesuatu yang sifatnya serius. Jika ia berbicara serius pada semua orang yang mengenalnya termasuk diriku, pastilah akan selalu bertanya-tanya di dalam hati, “Harun berbicara serius, atau bercanda ya?” Ada cerita lucu mengenai hal ini, yang akhirnya memberikan sebuah pelajaran berarti buat si Abangku itu. Alhasil si Abang mencintai seorang gadis yang merupakan teman dekatnya dan berniat mengatakan cintanya kepada si gadis tersebut. Tiap kali si Abang mengutarakan isi hatinya, si gadis selalu tersenyum tak percaya kepada ucapannya. Setiap mendengar kata “Aku cinta kamu, I love you, aishiteru, wo ai ni, aku tresno karo koe!” atau apalah kata-kata si Abang, si gadis hanya akan tertawa dan menganggap si Abang cuma berusaha menghibur dirinya. Menyakitkan memang bagi si Abang. Namun itulah kenyataannya, si Abang harus menerima hasil yang ditanamnya karena keseringannya bercanda. Lalu apa yang terjadi dengan kisah cinta si Abang? Cinta yang sempat terucapkan, namun tak pernah tersampaikan. Sampai saat ini si Abang hanya bisa memendam perasaan yang sesungguhnya. Canda dan banyolan si Abang selalu mengisi hari-hari setiap orang yang mengenalnya. Walaupun terkadang ada saja orang yang menganggapnya menjengkelkan karena usil dan jahilnya itu tidak pernah ketinggalan, namun aku mengerti sepenuhnya karakter dan kondisi Abang angkatku ini. Meskipun kami berbeda agama, namun kami saling menghormati. Dia sangat rajin beribadah menurut keyakinannya, Aku pun aktif beribadah menurut agama dan keyakinanku sendiri. Akan tetapi, hal ini tak pernah menjadi penghalang bagi hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat.

Lalu-lalang kendaraan, bunyi mesin kendaraan dan dentaman-dentaman klakson mobil menambah riuh perasaanku. Aku pun menghela napas untuk sesaat berharap semuanya akan baik-baik saja, karena baru saja sepintas pikiran buruk mengusik ketenanganku. Kecelakaan motor tadi sore masih melekat dan terekam jelas di dalam ingatanku, rasa takutku mengatakan kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada si Abang. Aku menarik nafas dan berdoa menenangkan pikiranku, karena hal inilah yang selama ini membantuku mengatasi masalah-masalahku. Menenangkan pikiran dapat membuatku berpikir logis, ‘Inilah hal yang harus Aku hadapi dan terima dengan lapang dada, yang tentunya memerlukan semangat yang luar biasa’. Aku teringat pada salah satu orang bijak yang pernah berkata: “Semangat dan keuletanlah yang patut dipuji dari seseorang,” dan inilah yang mulai aku tanamkan di dalam lubuk hatiku.

Dua puluh menit hampir berlalu, di manakah si sawo matang kurus berambut cepak itu? Dia tak jua kunjung datang. Hiruk pikuk orang yang keluar masuk bioskop hampir tak ada, karena waktu pemutaran film segera dimulai. Kulayangkan pandanganku ke kiri dan kanan jalan raya, namun yang ditunggu belum juga kelihatan. “Ah… apa ini kado terindah yang Abangku janjikan di hari ulang tahunku!!” gerutuku gerang. Aku hampir saja sedikit kesal, sampai akhirnya Aku berpikir lebih baik minum soft drink daripada menyimpan api di dalam dada yang malah akan menambah panas dan haus tenggorokanku. Akupun bergeser sedikit ke kiri tanpa mengangkat bahuku, membalikkan badanku dan menyapa pemilik warung kecil yang tampaknya cukup ramah. Warungnya terlihat rapih dan masih tercium bau cat pada warna birunya, menandakan warung itu baru saja direnovasi. Walaupun kecil warung yang letaknya di pinggir jalan ini terlihat komplit dan memiliki apa saja yang dibutuhkan pembeli sehari-harinya.

“Pak, minta soft drinknya satu!”, sahutku seraya si Bapak gemuk pemilik warung itu segera mengambil sebotol minuman dingin dan memberikannya kepadaku. Tersungging senyuman manis di bibir laki-laki ramah yang raut wajahnya mulai mengeriput itu. Aku pun membalas senyumannya dan memberikan sejumlah uang seharga minuman tersebut.

“Terima kasih yah Neng!” Kata-kata itulah yang menutup percakapan kami, yang mungkin saja tidak akan Aku temukan di tempat lain. Perkataan itu telah sekian kalinya kudengar, bukan satu atau dua kalinya terucap dari bibir si pemilik warung tersebut. Tiap kali ada orang yang datang untuk membeli ataupun hanya melihat-lihat dan tak jadi membeli, si Bapak pemilik warung akan mengucapkan terima kasih. Melihat keramahan dan senyuman si Bapak tadi membuatku sedikit tersadarkan, bahwa perlunya kita mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Seperti halnya rasa dan kata terima kasih yang diucapkan si Bapak pemilik warung itu, membuktikan bahwa betapa besarnya rasa syukur di dalam dirinya dan semangat juang dalam menghidupi keluarganya, yang hanya dengan berusaha warung kecil-kecilan. Entah sedikit atau pun banyak rejeki yang ia terima, ia akan selalu berterima kasih dan mensyukurinya. Seketika itu terlintas di benakku, ‘Lebih baik mensyukuri saat ini daripada menggerutu karena kesal, Abangku sudah senang hati mengajakku nonton, sudah seharusnya Aku berterima kasih untuk itu dan bukan menodainya dengan umpatan-umpatan ataupun sumpah serapah yang menyakitkan’. Menyadari hal ini hatiku terasa lega dan merasa bahagia, benarlah kata apa yang dikatakan oleh Buddha Gotama bahwa Dhamma ada di sekitar kita, dan kebahagiaan ada di dalam diri kita masing-masing.

Kuteguk minuman itu sedikit demi sedikit, hingga rasa hausku pun mulai terobati, sampai akhirnya terlihat sesosok laki-laki kurus dengan motor bebeknya yang berwarna hitam, sehitam jaket yang dikenakannya datang menuju dan memenuhi pandanganku. Terlihat sebuah helm tutup yang digantungkan dan dimasukkan ke pergelangan tangan kirinya. Dengan kedua tangannya memegang stang dan sebuah ransel merah di belakang pundaknya, si pengendara motor itu pun menghentikan motornya tepat di mana Aku sedang duduk menunggu. Setelah dua puluh lima menit lamanya, akhirnya sang kakak yang ditunggu datang juga. Diraut wajah yang kelihatannya lelah itu, terukir senyuman minta maaf di bibirnya, seraya membuka sebuah ransel berisikan sesuatu yang dibungkus rapih. Disodorkannya bungkusan rapih itu kepadaku, sambil berkata, “Dah lapar yah?, nih Abang beliin nasi goreng buat ade di jalan.”

“Ah…dikirain kado, kok sempet-sempetnya sih beliin nasi goreng, ade kan udah lama nungguin di sini. Udah dua puluh menit tau!” seruku sambil sedikit merengut.

“He..he..he.. siapa lagian yang nyuruh nungguin.” Jawab si Abang sambil menyeringai. “Tadi ban motornya bocor, jadi selama nunggu, beli nasi goreng dulu.”

“Oh… terus nasi gorengnya mau dimakan sekarang? Filmnya sebentar lagikan mau dimulai.!”

“Udah ntar makannya didalem aja, ayo masuk!”

“Emangnya bisa!?”

Akhirnya rasa resah dan gelisah yang berkecamuk di dalam pikiranku, bersamaan dengan itu seakan hilang dan Aku tidak akan pernah tahu kapan mereka akan kembali menghantuiku. Timbul, berlangsung, dan tenggelam adalah hal yang biasa, seperti halnya pemutaran film saat itu, dimulai, berlangsung, dan akhirnya selesai. Namun berakhirnya segala sesuatu bukan untuk ditangisi atau pun disesali, tetapi harus disyukuri apapun hasilnya. Seperti halnya si pemilik warung yang selalu berterima kasih dan mensyukuri atas apa yang dimiliki dan diterimanya.

Thanks ToMyMoM

By. Selfy Parkit

Ngapain ngerayain Waisak???

Begitu cepat sang waktu berjalan, tak terasa setahun sudah berlalu lagi. Masih teringat di benak gw perayaan waisak di tempat yang sama setahun yang lalu. Hanya saja yang membuatnya sedikit berbeda adalah orang-orang yang menemani gw merayakannya (yuhuuii.. siapa tuh), yah siapa lagi kalo bukan sahabat gw Novita. Tapi kali ini kebersamaan kami disertai oleh adik kecil dan sepupu-sepupunya yang masih berumur belasan. Jealous juga rasanya melihat mereka yang begitu kompaknya dan mau diajak waisak bersama. Sedangkan gw, selain jomblo (ha..ha..) ga ada juga adik-adik gw yang mao diajak ke wihara untuk ngerayain waisakkan bersama. Memang sudah biasa rasanya melewati waisak bersama diri sendiri. Contohnya saja tahun lalu, karena Novi berhalangan hadir, ya mau ga mau sendirilah gw ke wihara. Namun walaupun begitu, selalu saja ada teman-teman gw yang akhirnya bertemu dan bertegur sapa seusai acara. Akan tetapi dari semuanya itu, ada satu hal yang membuat gw bahagia tahun ini, bahkan kebahagiaan ini melebihi gw punya atau dapat cowo misalnya (ha..ha… gila abis, emangnya gw begitu kesepian apa..hihi..hi..) Kebahagiaan ini sebenarnya hadir karena gw merasa turut berbahagia (apa sih gitu aja kok berbelit-belit) ya..ya.. akhirnya bokap, nyokap dan adik bungsu gw datang ke salah satu wihara di Tangerang dan merayakan waisak di sana untuk pertama kalinya (ini sih setahu gw.. ha..ha.. siapa tahu lagi mudanya mereka malah aktif he.he..) walaupun berbeda tempat dan kita tak bersama-sama, namun gw turut bahagia. Sesungguhnya bukanlah karena ikut perayaan waisaknya saja yang bikin gw ngerasa bahagia, tetapi lebih dari itu mereka semakin dekat dengan ajaran kebenaran dan gw berharap semoga mereka selalu memperoleh kebahagiaan.

Seperti halnya tahun lalu, waisak tahun ini juga diguyur oleh hujan, hanya saja bedanya tahun lalu hujan turun seusai acara. Sedangkan di tahun ini, hujan mengguyur orang-orang yang sedang melakukan prodaksina. (Wah.. apalagi neh gerangan yang akan terjadi???) Firasat apalagikah yang akan diciptakan oleh para umat yang berpikiran dan menganggap hal itu bukan sesuatu yang normal. Jangan.. jangan, jangan.. jangan.. (apa sih??? Normal kok, wong hujan mo turun begitu saja kok repot “Kata Gusdur” haha..) namun begitulah terkadang, setiap kejadian yang dianggap tidak seperti biasanya selalu dikait-kaitan dengan kejadian-kejadian lain yang ditakutkan akan terjadi. Padahal yang ditakutkan itu terkadang tidak masuk diakal. (Wah.. inilah salah satu kehebatan pikiran kita dalam membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada he..he…)

Waisak tahun ini cukup berkesan bagi gw, apalagi setelah nonton kilas balik perjuangan Pangeran Siddhàrtha menjadi Buddha, jujur hal ini memberikan semangat dan memperkuat tekad gw untuk terus berjuang seperti beliau. Rasa kagum gw terhadap guru gw yang satu ini sungguh amat tak ada duanya. Apalagi merenungkan betapa hebatnya perjuangan beliau yang tak pernah lelah menghadapi setiap pembelajaran di dalam hidupnya hingga akhirnya dapat merealisasikan apa yang telah dicita-citakannya demi kebahagiaan semua makhluk. Sungguh cinta kasih beliau amat sangat tak terbatas. Begitulah seharusnya kita sebagai muridnya meneladani serta mempraktikan apa yang telah diajarkannya, dan bukan mengulangi kesalahan yang pernah beliau lakukan selama pencahariaan pencerahannya, yaitu dengan tidak bersikap ekstrim. Sesungguhnya perenungan inilah yang seharusnya kita lakukan dan terapkan dalam merayakan hari Waisak, bukan hanya melakukan ritual saja yang memang setiap tahun sering dilakukan dan kurang lebih dengan cara yang sama (lama-lama juga bosen.. kalo udah bosen males ke wihara deh.. ho..ho..ho). Tetapi bagaimana kita melihat diri kita, batin kita, apakah sudah mengalami peningkatan dari tahun yang lalu, ataukah masih di situ-situ saja atau malahan lebih merosot dari sebelumnya. Dengan merenungi hal ini, tentunya kita menjadi semakin mengerti dan dapat mengambil langkah selanjutnya untuk terus berjuang dalam mengikis keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan kita. So, Buddhisme dan semangat Buddhisme bukanlah sekedar ritual saja… Berjuanglah terus dalam mencari kebenaran, jangan Cuma percaya hanya sebatas ritual… Jia You!!! J

Happy Waisak Day 2553 - Parkit