Sabtu, 29 Agustus 2009

SAKIT

Oleh Selfy Parkit

Ketika sedang sakit, umumnya setiap orang merasakan hari yang dilaluinya terasa lebih sepi, suram, dan membosankan. Ada pula bagi sebagian mereka yang merasa sulit berpikir dengan jernih jika dirinya mengalami sakit. Begitu juga dengan hari-hari yang kulalui saat Aku sakit beberapa waktu yang lalu. Aku cenderung merasa kesepian dan sedikit bosan, karena hanya bisa melakukan hal yang itu-itu saja. Tak banyak yang dapat kuperbuat, dan kerjaku seharian hanya menjadi penghuni tetap tempat tidur saja. Keinginan bertemu dengan teman-teman dan berbincang-bincang dengan mereka membuatku merasa bertambah kesepian. Syukurnya, Aku memiliki ponsel dengan serentetan nomor teman-temanku yang dapat kuhubungi saat itu. Walaupun banyak dari mereka yang tak mengetahui keadaanku yang sedang sakit, namun Aku merasa terhibur oleh gurauan-gurauan dari mereka.

Sesungguhnya banyak dari kita yang terkadang sering berpikir untuk tidak menjenguk teman kita yang sedang sakit dengan salah satu alasan yaitu takut mengganggu teman kita yang perlu beristirahat. Padahal kebanyakan dari mereka yang sedang sakit sungguh sangat mengharapkan teman, keluarga, saudara dan orang-orang yang disayangi, bisa datang dan menghibur mereka. Walaupun, ada beberapa diantara mereka yang memang tidak suka dijenguk ketika mereka sedang sakit. Lain halnya dengan keadaanku saat itu, kesepian dan kebosanan yang Aku rasakan membuatku berpikir ‘senang rasanya jika ada satu atau dua orang temanku yang datang untuk menjengukku’. Namun, tidak dipungkiri pula bahwa ada kalanya bagi mereka yang sakit memang membutuhkan waktu untuk beristirahat. Untuk itu, jika saja setiap teman-temanku berdatangan dari jam ke jam hanya untuk memberikan makanan atau buah-buahan dan mengucapkan semoga lekas sembuh, Aku rasa Aku akan lelah juga, pikirku. Sebenarnya bukan ucapan semoga lekas sembuh yang Aku harapkan saat itu, apalagi mengharapkan makanan dan buah-buahan tentunya. Tetapi, perhatian dan hiburan merekalah yang benar-benar membuatku seakan-akan sehat kembali seperti sediakala. (Dalam hal ini bukan berarti makanan dan buah-buahan itu tidaklah penting, malah sangat dianjurkan. Ha..ha… ).

Ini bukti nyata bahwa orang yang sedang sakit amatlah membutuhkan hiburan yang mampu membuat mereka tertawa, bukan kata-kata turut prihatin saja atau perasaan sedih dan menyesal karena melihat mereka yang sedang sakit. Namun dari itu semua, menjenguk orang yang sedang sakit adalah baik. Terlebih lagi jika kita bisa merawat si sakit, itu merupakan hal yang dipuji oleh Buddha. Dulu pada zaman Buddha Gotama ada seorang bhikkhu yang menderita disentri dan berbaring lemah di tempat yang telah dihamburi tinjanya sendiri. Buddha dan Ananda yang sedang mengunjungi tempat itu menjenguk bhikkhu tersebut, seraya berkata :

“Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?”

“Saya menderita disentri.”

“Apa tidak ada yang merawatmu?”

“Tidak ada, Bhante.” jawab si bhikkhu yang sedang sakit.

“Kenapa para bhikkhu tidak merawatmu?”

“Karena saya tak berguna lagi bagi mereka, Bhante.”

Lalu, Buddha berseru pada Ananda, “Pergi dan ambillah air, kita akan memandikan bhikkhu ini.”

Dengan demikian, Ananda mengambil air ; sementara Buddha menuang air, Ananda mencuci seluruh badan bhikkhu itu. Dengan mengangkatnya pada kepala dan kakinya, Buddha dan Ananda membaringkannya kembali ke pembaringannya. Kemudian, Buddha memanggil seluruh bhikkhu dan bertanya kepada mereka :

“Wahai para bhikkhu, kenapa engkau tidak merawat bhikkhu yang sedang sakit itu?”

“Sebab sudah tidak berguna bagi kita, yang mulia.”

“Kamu sekalian tidak mempunyai ayah dan ibu lagi yang akan merawatmu. Bila kamu sekalian tidak saling merawat siapa yang akan melakukannya? Siapa yang merawat Daku (Buddha) hendaknya merawat pula mereka yang sakit.”

Begitulah Buddha berkata, bahwa merawat orang yang sakit itu sama halnya dengan merawat Buddha. Lalu, Buddha pun menunjukkan nilai-nilai yang hendaknya dimiliki seseorang yang berkeinginan merawat orang sakit, sebagai berikut :

Dengan 5 (lima) cara seseorang dikatakan tepat dalam merawat orang sakit, apakah lima cara itu?

1. Dia menyiapkan obat;

2. Dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang baik ditawarkannya dan yang tidak baik tidak ditawarkannya;

3. Dia merawat si sakit dengan cinta-kasih dan tanpa pamrih;

4. Dia tak tergoyahkan oleh tinja, kencing, muntah dan ludah;

5. Dari waktu ke waktu dia mengajarkan, memberi wawasan, menghibur serta memberinya kepuasan batin dengan membicarakan Dhamma.

Sakit yang positif

Setelah beberapa hari, Aku pun sembuh dari sakit. Aku sudah bisa jalan-jalan, makan dengan menu normal dan yang terpenting Aku sudah bisa mandi. Maklum disaat Aku sakit, mandi bukanlah lagi suatu kebutuhan tapi keperluan. Rasanya bahagia bisa melakukan rutinitas seperti sediakala. Rutinitas yang sebelumnya mungkin membosankan akan menjadi lebih menyenangkan ketika kita sembuh dari sakit. Dengan begitu, pada saat kita sehat dan mulai bosan pada kehidupan rutinitas kita sehari-hari, seharusnya kita mulai berpikir, bagaimana nanti jika kita sakit!?

Karena sudah mampu berjalan-jalan, kaki ini pun tak sabar menanti untuk digunakan sebagaimana fungsinya yaitu menapak dan melangkah keluar rumah. Hidung ini juga tak sabar ingin menghirup udara kota, yang walaupun penuh debu, namun menampakan bentuk dunia di pelupuk mata. Keinginan-keinginan tersebut membawaku beranjak pergi ke sebuah toko demi membelikan ibuku sesuatu untuk masakannya yang kurang bumbu. Toko ini memang lumayan jauh dari rumahku, untuk itu awalnya Aku bermaksud untuk mengayuh sepedaku menuju ke toko itu. Namun, setelah ku pikir-pikir akan lebih capailah Aku yang baru saja sembuh dari sakit ini, mengendarai sepeda yang kayuhannya lumayan berat. Oleh karena itu, Aku putuskan untuk naik sepeda motor bersama ayahku yang kebetulan satu arah, lalu pulang dengan berjalan kaki.

Sesampainya di toko dan sesudah membeli barang yang dibutuhkan, Aku pun menjalankan niatku untuk berjalan kaki. Selangkah demi selangkah awalnya terasa mengembirakan, namun di tengah perjalanan kaki ini pun terasa berat. Badan ini terasa lelah dan capai, lalu semangatku pun mulai mengendur. ‘Wah Aku capai, mungkin ini karena aku baru saja sembuh dari sakit dan belum pulih benar’, pikirku. Sekejap saja rasa capai dan lelah yang begitu sedikit ini membuatku berpikir untuk segera memanjakan tubuhku. Aku pun mulai mengasihani diriku yang saat itu baru saja pulih dari sakit tetapi sudah berjalan kaki lumayan jauh dari rumah. Sejenak pemikiran-pemikiran itu membatasi semangatku yang awalnya begitu menggebu ingin berjalan kaki. Sampai akhirnya, Aku menyaksikan pemandangan di luar diriku yang menyadarkanku dan membuatku merasa malu. Pemandangan ini datang dari sosok laki-laki tua yang berjalan gontai dengan tongkat kayunya. Kulitnya hitam keriput dibungkus oleh pakaian hitamnya yang agak kumal dan ditutupi topi di kepalanya. Si orang tua ini pun dengan sangat pelan dan dibantu oleh sebatang tongkatnya berjalan dari toko ke toko meminta-minta belas kasihan, berharap orang yang dihampirinya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia rela melangkahkan kakinya yang begitu berat dari satu toko ke toko lainnya yang belum tentu mau memberikannya uang, bahkan selogam uang receh pun. Dia juga rela mengumpulkan receh demi receh dengan keadaannya yang seperti itu, hanya untuk sesuap nasi sehari-harinya.

Dunia ini memang terlihat begitu kejam. Bayangkan saja seorang tua seperti itu, yang mungkin sedang sakit-sakitan masih dibiarkan berkeliaran di jalan raya oleh keluarganya ataupun saudaranya, hanya untuk sesuap nasi. Mungkin saja orang tua ini memang sudah tidak punya lagi sanak keluarga yang merawatnya. Namun, pemandangan di depan mataku ini memberikanku sebuah pelajaran hidup bahwa Aku seharusnya malu melihat si orang tua yang keadaan fisiknya jauh lebih buruk dari padaku, mampu dan mau berjalan tanpa mengeluhkan capai, lelah, berat serta kesakitan yang mungkin ada pada tubuhnya. Tidak seperti Aku yang masih mampu berjalan normal tanpa dibantu oleh sebatang tongkat penyangga pun, sudah berpikir dan mengasihani diriku sendiri hanya karena lelah berjalan sehabis sembuh dari sakit. Namun, ditengah-tengah rasa malu itu, Aku mulai menyadari bahwa betapa beruntung dan bersyukurnya Aku yang walaupun makan bubur, tetapi masih bisa makan tanpa harus meminta-minta di kala ku sedang sakit. Bukan hanya itu saja, Aku pun merasa sangat bersyukur karena ketika Aku sakit masih ada ibu, ayah serta saudara-saudaraku yang masih mau merawatku, tidak seperti si kakek itu.

Lalu kemanakah lenyapnya rasa syukur itu ketika kita sedang sakit? Rasa syukur itu seakan menghilang, seakan pudar oleh derita yang menurut kita teramat berat dan sulit, derita yang sesungguhnya teramat kecil di mata dunia. Terkadang kita lupa untuk mensyukuri hidup dan kehidupan kita di kala kita sedang menderita. Kita juga lupa kalau bersyukur itu artinya merasa bahagia atas apa pun kondisi yang datang dalam hidup kita, merasa bahagia atas apa yang dimiliki dan menghargai atas apa yang sudah kita dapatkan. Apakah hanya karena sakit rasa syukur itu menghilang? Apakah hanya karena penderitaan fisik rasa syukur itu pudar? Dunia begitu luas, penderitaan kita begitu kecil. Rasa syukur ini pun kembali membangkitkan semangatku untuk berjalan pulang menuju rumah. Ingin rasanya membantu si orang tua itu, namun apa daya Aku pulang tak berbekal satu sen pun.

Selfy Parkit’08,

Thanks to My Parents and all My Friends

dimuat di majalah SP edisi Spt-okt

Daftar pustaka :

Dhammika, Shravasti. Dasar Pandangan Agama Buddha. Cetakan kedua. Yayasan Dhammadipa Arama, Surabaya,

Behind the Scene of Being a Writer

Behind the Scene of Being a Writer

Pernah suatu hari ada seorang teman bertanya ke gw, lo mo jadi apa nantinya? Saat itu dengan mantap gw jawab, gw mo jadi penulis. Tetapi di dalam hati gw masih terukir tanda tanya besar “Apa bener???”, rasanya gw belom yakin, ga seyakin dengan pernyataan yang terlanjur gw ucapkan. Lah Wong cita-cita ini aja baru gw cetuskan sekitar setahun yang lalu, dan secara kebetulan tiba-tiba dapat kesempatan serta peluang untuk nulis n jadi penulis.

Berawal dari Diary.

Memang dari dulu gw dah hobi nulis, kerjaan gw di waktu luang ya apalagi kalo bukan nulis hal-hal yang ada di otak gw. Awal tulisan gw dimulai dari satu buah buku diary kecil, yang gw inget kalo ga salah buku itu adalah buku gratisan dari cap angin ‘Cap Elang’ punya nyokap gw yang udah ga terpakai. Karena nganggur ga ada yang gunain, ya gw ambil aja dari laci nyokap gw (he..he.. nah loh maen ambil aja ga bilang-bilang, maklum masih kecil haha..). Bukunya itu bentuknya seperti buku saku dan biasanya gw bawa-bawa sampe ke sekolah segala. Pada waktu itu gw masih duduk di bangku SMP (Junior High School). Biasanya gw akan mulai nulis kalau gw lagi punya masalah. Dulu-dulu kalo gw lagi punya masalah, biasanya gw ga akan cari orang untuk curhat (termasuk ortu gw), tetapi gw bakal ungkapin semua masalah gw di buku itu (bahkan kalo gw lagi suka sama cowo..hahaha… tapi ga deh,, lagi SMP ga pernah curhat soal cowo di buku diary he.he..). Kebiasaan itu terus berlanjut, tapi sempat berhenti juga karena saking banyaknya hobi yang gw geluti saat itu. Mulai dari menggambar, drum band sampai dengan nonton tv, benar-benar menyita waktu gw dan gw sempat melupakan kebiasaan gw yang satu itu. Sekarang ini kalo mo lihat hasil isi kepala gw waktu SMP mungkin Anda-anda sudah terlambat, karena buku yang menjadi modal gw menulis itu, saat ini sudah hilang entah kemana. Namun seingat gw, isinya semua mengenai cerita teman-teman gw semasa SD dan SMP serta masalah gw di dalam keluarga (biasalah isi otak anak kecil yang masih lugu apa sih!!! he..he..).

Curahan Hati

Ternyata dasar iseng menulis yang gw lakuin semasa SMP itu akhirnya terbawa juga sampai di SMK (Vocational High School), bahkan sampai sekarang. Waktu SMK gw mulai mencoba nulis-nulis cerita bersambung. Pernah juga cerita itu gw tunjukin ma temen-temen sekelas dan guru gw di sekolah. Karena masih penulis amatir, gw udah seneng banget kalo temen ato guru gw bilang ceritanya bagus (ga tau juga, kalo siapa tahu ternyata gw cuma diboongin aja buat menghibur diri haha…). Gw inget banget kalo ide cerita dari cerbung itu gw dapet dari mana, he..he… ide itu gw dapetin pada saat gw patah hati karena cowo yang gw suka, jadian ma temen deket gw (ha..ha.. siapa tuh???). Secara cowo itu dah lama banget bahkan bertahun-tahun yang lalu gw sukain, tapi emang dasar lugu ga ngerti bagaimana menghadapi perasaan sendiri, makanya kalo suka ma orang ga pernah nunjukin ato ngasih2 kode apa gitu. (Hahaha… sekarang juga lugu kok.. heheheee, owewek lugunya aja kaya gini gimana ga nya??? He..he ) Setelah cerita bersambung pertama yang gw buat yang serinya nyampe sekitar 40 halaman (diketik pula lagi dengan mesin tik), ternyata tercetus lagi ide gila di otak gw sampe akhirnya terciptalah cerita pendek pertama (idenya bukan dari patah hati lagi loh.. ha..ha.. patah hati melulu kasihan amat hahaha). Tapi sekali lagi sungguh sangat disayangkan kalo Anda mo tahu ceritanya apa, Anda tidak akan bisa membacanya (apalagi didapatkan di toko-toko buku terdekat he..he..) karena Anda sudah terlambat. Kebetulan ceritanya hilang entah kemana karena banyak yang pinjem untuk baca sampe lupa siapa yang belum balikin (ha.ha… gw yang promosiin kok he..he.., tapi kalo mo bikin lagi tenang aja masih ada di otak.. he.he..). Tapi ternyata kebiasaan itu pun tidak bertahan lama, gw sempet berhenti juga untuk buat cerita-cerita fiksi (maklum moody) dan beralih profesi lagi belajar melukis. Ditambah saat itu memang lagi sibuk-sibuknya ikut kegiatan kesenian di luar sekolah (Dragon dance, wah lagi ngetren2nya saat itu, diumur gw yang masih 16 tahun, gw dah kuat lari-lari bawa tongkat kayu yang beratnya kurang lebih 5 kilo ho..ho..ho. wanita super, hasilnya tangan gw udah kaya AdeRai hahaha). Tapi ternyata fenomena kehidupan yang gw hadapi menggerakan kerinduan gw untuk menulis kembali. Lagi-lagi awal tulisan itu bermula dari rasa suka gw sama seseorang yang tentunya ga bisa gw ungkapan melalui kehidupan nyata (bukanya ga PD sih, tapi tau kalo bakal ditolak hahaha). Dimulailah kembali kegiatan curahan hati gw melalui buku yang kecilnya cukup membuat mata bengkak (bukan karena ceritanya menyedihkan, tapi Karena tulisan gaya cacing bersambung gw yang susah dibaca ha.ha..). Semua perasaan gw tertuang dalam bentuk tulisan, dan hal itu sudah bikin gw merasa lega tanpa harus curhat ma orang lain (yang kenal gw di masa itu mungkin bingung, karena terus terang teman-teman gw saat itu beranggapan gw ga pernah punya masalah percintaan. Hahahaha…. Belom tau dia, mungkin mereka akan kaget setelah membaca tulisan gw yang satu ini he..he..). Kegiatan menulis gw ternyata terus berlanjut sampai akhirnya buku itu habis ditulis dan digantikan oleh buku pemberian sahabat gw Novita sebagai hadiah ultah gw.

Mulai Bertambah Gila

Awalnya buku pemberian itu niatnya mo dipake buat nulis-nulis cerpen, tapi apa mo dikata kisah kehidupan gw lebih menarik untuk gw tulis dibanding kisah-kisah fiktif seorang tokoh yang ada di otak gw. Jadi mulai lagilah gw teruskan metode curhat gw ke dalam sebuah buku yang kali ini ukurannya lumayan besar dari sebelumnya. Kali ini, karena bertambah dewasa dan bertambah gila (ha..ha.., gila kalo udah nulis ga inget waktu) tulisan gw ga hanya cerita tentang masalah yang sedang gw hadapi saja, tapi juga mengenai cerita orang-orang disekeliling gw, dan ditambah tulisan-tulisan ngelantur gw (yang ada diotak semua gw keluarin, biar ga mampet he..he..). Trus kalo gw lagi ada masalah biasanya gw juga bakal nasehatin diri gw sendiri di situ, dan ga tau kenapa diri gw di luar sana (yang fiktif) malah lebih bijak dibandingkan aslinya (ha..ha… kadang gw malah merasa goblok dan malu ma diri gw yang di luar sana, sempet juga gw diomel-omelin dan dicaci maki, hihihi). Tak disangka kebiasaan gw ini berlanjut sampe sekarang, walo kadang-kadang jarang curhat lagi di buku, tapi buku curhat gw ini terus bertambah dari waktu ke waktu, akan tetapi fungsinya yang sekarang sudah sedikit berbeda. Kalo dulu curhat tentang patah hati dan lain sebagainya, sekarang ini cenderung berisikan tentang ajaran-ajaran indah yang gw temukan di dalam kehidupan gw.

Iseng Bantu Majalah

Hal tergila dan terPD yang pernah gw lakuin dalam sejarah menulis gw adalah gabung di media massa (Majalah Buddhis Sinar Padumuttara). Gimana ga, gw baru sadar kalo ini adalah ide tergila dalam hidup gw, ketika gw melihat hasil yang gw sendiri ga menyangka akan jadi sebegitunya (ha..ha…). Dulu di dalam pikiran gw SP cuma bakal jadi majalah-majalah yang sering gw liat di wihara-wihara, minimal akan menjadi seperti majalah sebelumnya. Tapi pada kenyataannya SP berpenampilan luar biasa (MoM Sriloka emang ok banget kalo urusan nge-design), dan ga percaya kalo ada tulisan gw di dalamnya. Trus Yang lebih gilanya lagi, SP memuat hal yang belum pernah gw tulis sebelumnya, isinya materi serius yang harus didapat dari hasil wawancara, bedah buku dan cari referensi (dong..dong..dong.. dong… Terus terang modalnya cuma pengen nulis doang, ga punya modal apa2 tapi mao-maonya nyebur,.. Sok PD… hahaha… untungnya punya dasar nulis tugas composition waktu di kuliah, itu juga masih raba-raba ha..ha..). Karena sudah terlanjur berkomitmen mao ga mao harus lanjut, itung-itung belajar coret sini coret sana bolehlah, bahkan cari konsep sendiri yang penting enak dibaca and isinya ga menyesatkan hahahaha… Untungnya ketua umum SP berpikiran ke depan dan cukup bijaksana dalam memotivasi prajurit-prajuritnya (Thanx ya MoM Nato he..he..). Karena doi tau kita-kita belom ada pengalaman di bidang jurnalistik alias nulis di majalah, so saat itu juga doi yang bekerja di permajalahan, menyewa salah seorang temennya yang kerja di bagian jurnalistik buat ngajarin kita-kita aturan dalam menulis di majalah. Ditambah lagi si calon pengusaha ini (gw doain To supaya cepet jadi pengusaha) sibuk-sibuknya ngadain lokakarya buat kita-kita, supaya tambah pinter nulis (bukan pinter “ngarang”nya ha..ha..). Bulan demi bulan kegiatan gila ini gw tekunin, bahkan gw lebih interest nulis dibandingkan dengan pekerjaan gw saat itu, gimana ga kalo udah nulis gw terlalu asik lupa waktu dan segalanya. Sampe-sampe saat itu gw lebih milih nulis di majalah dibanding mikirin lesson plan gw buat minggu depan (ha..ha..ha.. untungnya sekarang gw dah sedikit sadar mana yang harus gw kerjain demi sesuap nasi ha.ha..). Hal yang paling asik dari menulis semua itu (hasil2 yang ada di majalah dan bisa dibaca langsung di SP ) adalah mencari bahan dan berita melalui wawancara langsung. Ini nih yang paling seru dari semuanya… gimana ga, biasanya gw dan MoM Sriloka bakal nyasar-nyasar dulu nyari alamat sebelum ketemu ma orang yang akan diwawancarai. Untungnya MoM Sriloka pinter kalo soal nyari2, dan pengertian juga karena suka traktir makan seusai wawancara (ha.ha.. tau aja kalo gw bakal kelaparan abis pul dari kerjaan he..he...). Tapi apa mau dikata pada akhirnya setelah beberapa edisi, dengan sangat-sangat terpaksa dan disayangkan gw harus keluar dari SP karena alasan beberapa hal (hiks..hiks..). Tapi dengan begitu gw ga akan pernah mematikan kegiatan menulis gw, dan ga akan meninggalkan SP begitu saja (SP dan teman-teman di dalamnya sudah menjadi bagian dari hidup gw.. hiks..hiks…).

Kenapa Juga gw mo nulis di Majalah!!

Selama menulis untuk SP, banyak sekali teman-teman baru yang berdatangan dalam hidup gw. Karena SP pula pola pikir gw berubah 180 derajat. Gimana ga, orang-orang berbakat dan orang-orang bijak, mulai bermampiran dan memberikan gw konsep-konsep baru mengenai kehidupan. Bukan hanya belajar nulis saja yang ternyata gw dapatkan, tetapi juga pelajaran hidup yang sangat-sangat berharga. Gw ngerasa hutang budi dengan SP, dan rasa terima kasih gw ga akan pernah cukup buat mengungkapkan ini semua. Trus kenapa juga awalnya gw bisa gabung di SP??? Ternyata dari hasil Selidik punya selidik, selain gw hobi nulis, sesungguhnya ada juga motif lain dibalik itu semua. Hal ini baru gw sadari ketika gw merenungkan apa saja yang sudah terjadi di dalam hidup gw. Motif gw yang satu itu tercetus atas dasar keinginan dan ego yang besar untuk nunjukin kemampuan gw kepada seseorang. Seorang lulusan sociology yang memang cukup berjasa dan cukup berkesan, serta cukup memengaruhi kehidupan gw di waktu itu. Dia satu-satunya orang yang menjadi motivasi gw untuk melakukan apa yang sebenarnya enggan gw lakuin (membuktikan diri dan menunjukan kebolehan). Dia (Orang yang pernah bercita-cita jadi penulis itu) adalah orang yang pertama kali gw sayang dengan tulus, tetapi pergi karena sesuatu hal (hiks..hiks…). Namun, kepergiannya membuat gw sadar kalo gw harus lebih banyak belajar lagi tentang kehidupan dan bagaimana cara hidup yang benar. Karena dia juga gw jadi sadar bahwa betapa lugu dan gobloknya gw selama ini. Ternyata motif inilah yang akhirnya membuat gw jadi aktif di segala kegiatan, dan sampe-sampe temen gw bilang, gw ga fokus dengan apa yang gw tuju dalam hidup gw. Bahkan jadi guru pun motifnya berawal karena dia. Menyedikan… mengetahui bahwa semua motif dari kegiatan yang gw lakukan selama itu berawal dari kisah gw tentang dia. Namun setelah lama berkecimpung di lingkungan yang lumayan memberikan kondisi yang baik, dan setelah apa yang gw inginkan pun tercapai, akhirnya motif itu pun berubah seiring waktu. Tiga tahun berlalu dengan cepat, gw pun sadar ada hal yang lebih berharga dari sekedar menunjukkan diri saja. Kasih dan ketulusan untuk memberi jauh lebih amat sangat berharga dibandingkan dengan motif (menunjukan diri) yang selama ini menjadi dasar tindakan gw. Namun apa mau dikata walaupun kadang ingin meninggalkan apa yang sudah dicapai dan diperbuat, karena menyadari bahwa betapa rendahnya motivasi dari semua yang gw lakukan, namun rasanya gw sudah terlanjur tercemplung dan berkotor-kotor ria di dalamnya. Setelah menyadari semua ini, gw pun akhirnya berbenah diri mencari arah tujuan gw sebenarnya… Ingin jadi apaan sih gw??? Apa mantap mo jadi penulis??? Apa sudah mantap jadi guru Playgroup??? Akan tetapi apa pun yang gw lakukan, selama kasih dan ketulusan yang menjadi motifnya, gw rasa itu yang akan membuat gw bahagia.

Writing Skill cabutan

Sekarang ini kalo ditanya apa motif lo melakukan semua yang lo lakukan di dalam hidup lo??? Jawaban gw yang masih duniawi banget adalah “I want to make my Mom Happy to what I’ve done. That’s it.” Tanpa disangka motif yang satu ini malah menjadi motor penggerak bagi gw. Gw yang tadinya merasa kehilangan arah karena menyadari tujuan dari motif gw sudah tercapai, akhirnya dapat bangkit lagi melanjutkan apa yang sudah gw mulai. Kalo dipikir-pikir kembali mengenai semua yang gw lakukan selama ini, rasanya gw tidak akan pernah berkembang tanpa orang-orang berjasa dibaliknya. Apa lagi mengenai kemampuan gw menulis (kan udah tau dasarnya cuma iseng-iseng n ga tau rambu-rambunya) tentunya banyak sekali yang sudah memberi pelajaran dan masukan-masukan bagi tulisan gw selama ini. Ada beberapa orang yang memang berjasa banget dalam hal ini.. dan rasanya ingin sekali gw sebutkan nama mereka di dalam tulisan ini, namun gw pun ga mo mengekspos mereka tanpa persetujuan dari mereka terlebih dahulu. Karena gw tau mereka semua adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan orang-orang yang tidak punya motif untuk menonjolkan diri (he..he.. kasih kabar ya, kalo mo ditulis namanya.. haha). Tetapi yang jelas gw banyak mengucapkan terima kasih atas skill2 cabutan yang selama ini gw pelajari dari mereka dan Anda-anda sekalian. Semoga dengan apa yang selama ini gw lakuin dapat bermanfaat bagi semua orang. Satu hal yang ingin gw kutip dari kata-kata seorang teman kepada gw, yang akhirnya merubah style tulisan gw hingga saat ini adalah “Menulislah dengan hati dan jadilah dirimu sendiri”.