Sabtu, 29 Agustus 2009

SAKIT

Oleh Selfy Parkit

Ketika sedang sakit, umumnya setiap orang merasakan hari yang dilaluinya terasa lebih sepi, suram, dan membosankan. Ada pula bagi sebagian mereka yang merasa sulit berpikir dengan jernih jika dirinya mengalami sakit. Begitu juga dengan hari-hari yang kulalui saat Aku sakit beberapa waktu yang lalu. Aku cenderung merasa kesepian dan sedikit bosan, karena hanya bisa melakukan hal yang itu-itu saja. Tak banyak yang dapat kuperbuat, dan kerjaku seharian hanya menjadi penghuni tetap tempat tidur saja. Keinginan bertemu dengan teman-teman dan berbincang-bincang dengan mereka membuatku merasa bertambah kesepian. Syukurnya, Aku memiliki ponsel dengan serentetan nomor teman-temanku yang dapat kuhubungi saat itu. Walaupun banyak dari mereka yang tak mengetahui keadaanku yang sedang sakit, namun Aku merasa terhibur oleh gurauan-gurauan dari mereka.

Sesungguhnya banyak dari kita yang terkadang sering berpikir untuk tidak menjenguk teman kita yang sedang sakit dengan salah satu alasan yaitu takut mengganggu teman kita yang perlu beristirahat. Padahal kebanyakan dari mereka yang sedang sakit sungguh sangat mengharapkan teman, keluarga, saudara dan orang-orang yang disayangi, bisa datang dan menghibur mereka. Walaupun, ada beberapa diantara mereka yang memang tidak suka dijenguk ketika mereka sedang sakit. Lain halnya dengan keadaanku saat itu, kesepian dan kebosanan yang Aku rasakan membuatku berpikir ‘senang rasanya jika ada satu atau dua orang temanku yang datang untuk menjengukku’. Namun, tidak dipungkiri pula bahwa ada kalanya bagi mereka yang sakit memang membutuhkan waktu untuk beristirahat. Untuk itu, jika saja setiap teman-temanku berdatangan dari jam ke jam hanya untuk memberikan makanan atau buah-buahan dan mengucapkan semoga lekas sembuh, Aku rasa Aku akan lelah juga, pikirku. Sebenarnya bukan ucapan semoga lekas sembuh yang Aku harapkan saat itu, apalagi mengharapkan makanan dan buah-buahan tentunya. Tetapi, perhatian dan hiburan merekalah yang benar-benar membuatku seakan-akan sehat kembali seperti sediakala. (Dalam hal ini bukan berarti makanan dan buah-buahan itu tidaklah penting, malah sangat dianjurkan. Ha..ha… ).

Ini bukti nyata bahwa orang yang sedang sakit amatlah membutuhkan hiburan yang mampu membuat mereka tertawa, bukan kata-kata turut prihatin saja atau perasaan sedih dan menyesal karena melihat mereka yang sedang sakit. Namun dari itu semua, menjenguk orang yang sedang sakit adalah baik. Terlebih lagi jika kita bisa merawat si sakit, itu merupakan hal yang dipuji oleh Buddha. Dulu pada zaman Buddha Gotama ada seorang bhikkhu yang menderita disentri dan berbaring lemah di tempat yang telah dihamburi tinjanya sendiri. Buddha dan Ananda yang sedang mengunjungi tempat itu menjenguk bhikkhu tersebut, seraya berkata :

“Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?”

“Saya menderita disentri.”

“Apa tidak ada yang merawatmu?”

“Tidak ada, Bhante.” jawab si bhikkhu yang sedang sakit.

“Kenapa para bhikkhu tidak merawatmu?”

“Karena saya tak berguna lagi bagi mereka, Bhante.”

Lalu, Buddha berseru pada Ananda, “Pergi dan ambillah air, kita akan memandikan bhikkhu ini.”

Dengan demikian, Ananda mengambil air ; sementara Buddha menuang air, Ananda mencuci seluruh badan bhikkhu itu. Dengan mengangkatnya pada kepala dan kakinya, Buddha dan Ananda membaringkannya kembali ke pembaringannya. Kemudian, Buddha memanggil seluruh bhikkhu dan bertanya kepada mereka :

“Wahai para bhikkhu, kenapa engkau tidak merawat bhikkhu yang sedang sakit itu?”

“Sebab sudah tidak berguna bagi kita, yang mulia.”

“Kamu sekalian tidak mempunyai ayah dan ibu lagi yang akan merawatmu. Bila kamu sekalian tidak saling merawat siapa yang akan melakukannya? Siapa yang merawat Daku (Buddha) hendaknya merawat pula mereka yang sakit.”

Begitulah Buddha berkata, bahwa merawat orang yang sakit itu sama halnya dengan merawat Buddha. Lalu, Buddha pun menunjukkan nilai-nilai yang hendaknya dimiliki seseorang yang berkeinginan merawat orang sakit, sebagai berikut :

Dengan 5 (lima) cara seseorang dikatakan tepat dalam merawat orang sakit, apakah lima cara itu?

1. Dia menyiapkan obat;

2. Dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang baik ditawarkannya dan yang tidak baik tidak ditawarkannya;

3. Dia merawat si sakit dengan cinta-kasih dan tanpa pamrih;

4. Dia tak tergoyahkan oleh tinja, kencing, muntah dan ludah;

5. Dari waktu ke waktu dia mengajarkan, memberi wawasan, menghibur serta memberinya kepuasan batin dengan membicarakan Dhamma.

Sakit yang positif

Setelah beberapa hari, Aku pun sembuh dari sakit. Aku sudah bisa jalan-jalan, makan dengan menu normal dan yang terpenting Aku sudah bisa mandi. Maklum disaat Aku sakit, mandi bukanlah lagi suatu kebutuhan tapi keperluan. Rasanya bahagia bisa melakukan rutinitas seperti sediakala. Rutinitas yang sebelumnya mungkin membosankan akan menjadi lebih menyenangkan ketika kita sembuh dari sakit. Dengan begitu, pada saat kita sehat dan mulai bosan pada kehidupan rutinitas kita sehari-hari, seharusnya kita mulai berpikir, bagaimana nanti jika kita sakit!?

Karena sudah mampu berjalan-jalan, kaki ini pun tak sabar menanti untuk digunakan sebagaimana fungsinya yaitu menapak dan melangkah keluar rumah. Hidung ini juga tak sabar ingin menghirup udara kota, yang walaupun penuh debu, namun menampakan bentuk dunia di pelupuk mata. Keinginan-keinginan tersebut membawaku beranjak pergi ke sebuah toko demi membelikan ibuku sesuatu untuk masakannya yang kurang bumbu. Toko ini memang lumayan jauh dari rumahku, untuk itu awalnya Aku bermaksud untuk mengayuh sepedaku menuju ke toko itu. Namun, setelah ku pikir-pikir akan lebih capailah Aku yang baru saja sembuh dari sakit ini, mengendarai sepeda yang kayuhannya lumayan berat. Oleh karena itu, Aku putuskan untuk naik sepeda motor bersama ayahku yang kebetulan satu arah, lalu pulang dengan berjalan kaki.

Sesampainya di toko dan sesudah membeli barang yang dibutuhkan, Aku pun menjalankan niatku untuk berjalan kaki. Selangkah demi selangkah awalnya terasa mengembirakan, namun di tengah perjalanan kaki ini pun terasa berat. Badan ini terasa lelah dan capai, lalu semangatku pun mulai mengendur. ‘Wah Aku capai, mungkin ini karena aku baru saja sembuh dari sakit dan belum pulih benar’, pikirku. Sekejap saja rasa capai dan lelah yang begitu sedikit ini membuatku berpikir untuk segera memanjakan tubuhku. Aku pun mulai mengasihani diriku yang saat itu baru saja pulih dari sakit tetapi sudah berjalan kaki lumayan jauh dari rumah. Sejenak pemikiran-pemikiran itu membatasi semangatku yang awalnya begitu menggebu ingin berjalan kaki. Sampai akhirnya, Aku menyaksikan pemandangan di luar diriku yang menyadarkanku dan membuatku merasa malu. Pemandangan ini datang dari sosok laki-laki tua yang berjalan gontai dengan tongkat kayunya. Kulitnya hitam keriput dibungkus oleh pakaian hitamnya yang agak kumal dan ditutupi topi di kepalanya. Si orang tua ini pun dengan sangat pelan dan dibantu oleh sebatang tongkatnya berjalan dari toko ke toko meminta-minta belas kasihan, berharap orang yang dihampirinya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia rela melangkahkan kakinya yang begitu berat dari satu toko ke toko lainnya yang belum tentu mau memberikannya uang, bahkan selogam uang receh pun. Dia juga rela mengumpulkan receh demi receh dengan keadaannya yang seperti itu, hanya untuk sesuap nasi sehari-harinya.

Dunia ini memang terlihat begitu kejam. Bayangkan saja seorang tua seperti itu, yang mungkin sedang sakit-sakitan masih dibiarkan berkeliaran di jalan raya oleh keluarganya ataupun saudaranya, hanya untuk sesuap nasi. Mungkin saja orang tua ini memang sudah tidak punya lagi sanak keluarga yang merawatnya. Namun, pemandangan di depan mataku ini memberikanku sebuah pelajaran hidup bahwa Aku seharusnya malu melihat si orang tua yang keadaan fisiknya jauh lebih buruk dari padaku, mampu dan mau berjalan tanpa mengeluhkan capai, lelah, berat serta kesakitan yang mungkin ada pada tubuhnya. Tidak seperti Aku yang masih mampu berjalan normal tanpa dibantu oleh sebatang tongkat penyangga pun, sudah berpikir dan mengasihani diriku sendiri hanya karena lelah berjalan sehabis sembuh dari sakit. Namun, ditengah-tengah rasa malu itu, Aku mulai menyadari bahwa betapa beruntung dan bersyukurnya Aku yang walaupun makan bubur, tetapi masih bisa makan tanpa harus meminta-minta di kala ku sedang sakit. Bukan hanya itu saja, Aku pun merasa sangat bersyukur karena ketika Aku sakit masih ada ibu, ayah serta saudara-saudaraku yang masih mau merawatku, tidak seperti si kakek itu.

Lalu kemanakah lenyapnya rasa syukur itu ketika kita sedang sakit? Rasa syukur itu seakan menghilang, seakan pudar oleh derita yang menurut kita teramat berat dan sulit, derita yang sesungguhnya teramat kecil di mata dunia. Terkadang kita lupa untuk mensyukuri hidup dan kehidupan kita di kala kita sedang menderita. Kita juga lupa kalau bersyukur itu artinya merasa bahagia atas apa pun kondisi yang datang dalam hidup kita, merasa bahagia atas apa yang dimiliki dan menghargai atas apa yang sudah kita dapatkan. Apakah hanya karena sakit rasa syukur itu menghilang? Apakah hanya karena penderitaan fisik rasa syukur itu pudar? Dunia begitu luas, penderitaan kita begitu kecil. Rasa syukur ini pun kembali membangkitkan semangatku untuk berjalan pulang menuju rumah. Ingin rasanya membantu si orang tua itu, namun apa daya Aku pulang tak berbekal satu sen pun.

Selfy Parkit’08,

Thanks to My Parents and all My Friends

dimuat di majalah SP edisi Spt-okt

Daftar pustaka :

Dhammika, Shravasti. Dasar Pandangan Agama Buddha. Cetakan kedua. Yayasan Dhammadipa Arama, Surabaya,

Behind the Scene of Being a Writer

Behind the Scene of Being a Writer

Pernah suatu hari ada seorang teman bertanya ke gw, lo mo jadi apa nantinya? Saat itu dengan mantap gw jawab, gw mo jadi penulis. Tetapi di dalam hati gw masih terukir tanda tanya besar “Apa bener???”, rasanya gw belom yakin, ga seyakin dengan pernyataan yang terlanjur gw ucapkan. Lah Wong cita-cita ini aja baru gw cetuskan sekitar setahun yang lalu, dan secara kebetulan tiba-tiba dapat kesempatan serta peluang untuk nulis n jadi penulis.

Berawal dari Diary.

Memang dari dulu gw dah hobi nulis, kerjaan gw di waktu luang ya apalagi kalo bukan nulis hal-hal yang ada di otak gw. Awal tulisan gw dimulai dari satu buah buku diary kecil, yang gw inget kalo ga salah buku itu adalah buku gratisan dari cap angin ‘Cap Elang’ punya nyokap gw yang udah ga terpakai. Karena nganggur ga ada yang gunain, ya gw ambil aja dari laci nyokap gw (he..he.. nah loh maen ambil aja ga bilang-bilang, maklum masih kecil haha..). Bukunya itu bentuknya seperti buku saku dan biasanya gw bawa-bawa sampe ke sekolah segala. Pada waktu itu gw masih duduk di bangku SMP (Junior High School). Biasanya gw akan mulai nulis kalau gw lagi punya masalah. Dulu-dulu kalo gw lagi punya masalah, biasanya gw ga akan cari orang untuk curhat (termasuk ortu gw), tetapi gw bakal ungkapin semua masalah gw di buku itu (bahkan kalo gw lagi suka sama cowo..hahaha… tapi ga deh,, lagi SMP ga pernah curhat soal cowo di buku diary he.he..). Kebiasaan itu terus berlanjut, tapi sempat berhenti juga karena saking banyaknya hobi yang gw geluti saat itu. Mulai dari menggambar, drum band sampai dengan nonton tv, benar-benar menyita waktu gw dan gw sempat melupakan kebiasaan gw yang satu itu. Sekarang ini kalo mo lihat hasil isi kepala gw waktu SMP mungkin Anda-anda sudah terlambat, karena buku yang menjadi modal gw menulis itu, saat ini sudah hilang entah kemana. Namun seingat gw, isinya semua mengenai cerita teman-teman gw semasa SD dan SMP serta masalah gw di dalam keluarga (biasalah isi otak anak kecil yang masih lugu apa sih!!! he..he..).

Curahan Hati

Ternyata dasar iseng menulis yang gw lakuin semasa SMP itu akhirnya terbawa juga sampai di SMK (Vocational High School), bahkan sampai sekarang. Waktu SMK gw mulai mencoba nulis-nulis cerita bersambung. Pernah juga cerita itu gw tunjukin ma temen-temen sekelas dan guru gw di sekolah. Karena masih penulis amatir, gw udah seneng banget kalo temen ato guru gw bilang ceritanya bagus (ga tau juga, kalo siapa tahu ternyata gw cuma diboongin aja buat menghibur diri haha…). Gw inget banget kalo ide cerita dari cerbung itu gw dapet dari mana, he..he… ide itu gw dapetin pada saat gw patah hati karena cowo yang gw suka, jadian ma temen deket gw (ha..ha.. siapa tuh???). Secara cowo itu dah lama banget bahkan bertahun-tahun yang lalu gw sukain, tapi emang dasar lugu ga ngerti bagaimana menghadapi perasaan sendiri, makanya kalo suka ma orang ga pernah nunjukin ato ngasih2 kode apa gitu. (Hahaha… sekarang juga lugu kok.. heheheee, owewek lugunya aja kaya gini gimana ga nya??? He..he ) Setelah cerita bersambung pertama yang gw buat yang serinya nyampe sekitar 40 halaman (diketik pula lagi dengan mesin tik), ternyata tercetus lagi ide gila di otak gw sampe akhirnya terciptalah cerita pendek pertama (idenya bukan dari patah hati lagi loh.. ha..ha.. patah hati melulu kasihan amat hahaha). Tapi sekali lagi sungguh sangat disayangkan kalo Anda mo tahu ceritanya apa, Anda tidak akan bisa membacanya (apalagi didapatkan di toko-toko buku terdekat he..he..) karena Anda sudah terlambat. Kebetulan ceritanya hilang entah kemana karena banyak yang pinjem untuk baca sampe lupa siapa yang belum balikin (ha.ha… gw yang promosiin kok he..he.., tapi kalo mo bikin lagi tenang aja masih ada di otak.. he.he..). Tapi ternyata kebiasaan itu pun tidak bertahan lama, gw sempet berhenti juga untuk buat cerita-cerita fiksi (maklum moody) dan beralih profesi lagi belajar melukis. Ditambah saat itu memang lagi sibuk-sibuknya ikut kegiatan kesenian di luar sekolah (Dragon dance, wah lagi ngetren2nya saat itu, diumur gw yang masih 16 tahun, gw dah kuat lari-lari bawa tongkat kayu yang beratnya kurang lebih 5 kilo ho..ho..ho. wanita super, hasilnya tangan gw udah kaya AdeRai hahaha). Tapi ternyata fenomena kehidupan yang gw hadapi menggerakan kerinduan gw untuk menulis kembali. Lagi-lagi awal tulisan itu bermula dari rasa suka gw sama seseorang yang tentunya ga bisa gw ungkapan melalui kehidupan nyata (bukanya ga PD sih, tapi tau kalo bakal ditolak hahaha). Dimulailah kembali kegiatan curahan hati gw melalui buku yang kecilnya cukup membuat mata bengkak (bukan karena ceritanya menyedihkan, tapi Karena tulisan gaya cacing bersambung gw yang susah dibaca ha.ha..). Semua perasaan gw tertuang dalam bentuk tulisan, dan hal itu sudah bikin gw merasa lega tanpa harus curhat ma orang lain (yang kenal gw di masa itu mungkin bingung, karena terus terang teman-teman gw saat itu beranggapan gw ga pernah punya masalah percintaan. Hahahaha…. Belom tau dia, mungkin mereka akan kaget setelah membaca tulisan gw yang satu ini he..he..). Kegiatan menulis gw ternyata terus berlanjut sampai akhirnya buku itu habis ditulis dan digantikan oleh buku pemberian sahabat gw Novita sebagai hadiah ultah gw.

Mulai Bertambah Gila

Awalnya buku pemberian itu niatnya mo dipake buat nulis-nulis cerpen, tapi apa mo dikata kisah kehidupan gw lebih menarik untuk gw tulis dibanding kisah-kisah fiktif seorang tokoh yang ada di otak gw. Jadi mulai lagilah gw teruskan metode curhat gw ke dalam sebuah buku yang kali ini ukurannya lumayan besar dari sebelumnya. Kali ini, karena bertambah dewasa dan bertambah gila (ha..ha.., gila kalo udah nulis ga inget waktu) tulisan gw ga hanya cerita tentang masalah yang sedang gw hadapi saja, tapi juga mengenai cerita orang-orang disekeliling gw, dan ditambah tulisan-tulisan ngelantur gw (yang ada diotak semua gw keluarin, biar ga mampet he..he..). Trus kalo gw lagi ada masalah biasanya gw juga bakal nasehatin diri gw sendiri di situ, dan ga tau kenapa diri gw di luar sana (yang fiktif) malah lebih bijak dibandingkan aslinya (ha..ha… kadang gw malah merasa goblok dan malu ma diri gw yang di luar sana, sempet juga gw diomel-omelin dan dicaci maki, hihihi). Tak disangka kebiasaan gw ini berlanjut sampe sekarang, walo kadang-kadang jarang curhat lagi di buku, tapi buku curhat gw ini terus bertambah dari waktu ke waktu, akan tetapi fungsinya yang sekarang sudah sedikit berbeda. Kalo dulu curhat tentang patah hati dan lain sebagainya, sekarang ini cenderung berisikan tentang ajaran-ajaran indah yang gw temukan di dalam kehidupan gw.

Iseng Bantu Majalah

Hal tergila dan terPD yang pernah gw lakuin dalam sejarah menulis gw adalah gabung di media massa (Majalah Buddhis Sinar Padumuttara). Gimana ga, gw baru sadar kalo ini adalah ide tergila dalam hidup gw, ketika gw melihat hasil yang gw sendiri ga menyangka akan jadi sebegitunya (ha..ha…). Dulu di dalam pikiran gw SP cuma bakal jadi majalah-majalah yang sering gw liat di wihara-wihara, minimal akan menjadi seperti majalah sebelumnya. Tapi pada kenyataannya SP berpenampilan luar biasa (MoM Sriloka emang ok banget kalo urusan nge-design), dan ga percaya kalo ada tulisan gw di dalamnya. Trus Yang lebih gilanya lagi, SP memuat hal yang belum pernah gw tulis sebelumnya, isinya materi serius yang harus didapat dari hasil wawancara, bedah buku dan cari referensi (dong..dong..dong.. dong… Terus terang modalnya cuma pengen nulis doang, ga punya modal apa2 tapi mao-maonya nyebur,.. Sok PD… hahaha… untungnya punya dasar nulis tugas composition waktu di kuliah, itu juga masih raba-raba ha..ha..). Karena sudah terlanjur berkomitmen mao ga mao harus lanjut, itung-itung belajar coret sini coret sana bolehlah, bahkan cari konsep sendiri yang penting enak dibaca and isinya ga menyesatkan hahahaha… Untungnya ketua umum SP berpikiran ke depan dan cukup bijaksana dalam memotivasi prajurit-prajuritnya (Thanx ya MoM Nato he..he..). Karena doi tau kita-kita belom ada pengalaman di bidang jurnalistik alias nulis di majalah, so saat itu juga doi yang bekerja di permajalahan, menyewa salah seorang temennya yang kerja di bagian jurnalistik buat ngajarin kita-kita aturan dalam menulis di majalah. Ditambah lagi si calon pengusaha ini (gw doain To supaya cepet jadi pengusaha) sibuk-sibuknya ngadain lokakarya buat kita-kita, supaya tambah pinter nulis (bukan pinter “ngarang”nya ha..ha..). Bulan demi bulan kegiatan gila ini gw tekunin, bahkan gw lebih interest nulis dibandingkan dengan pekerjaan gw saat itu, gimana ga kalo udah nulis gw terlalu asik lupa waktu dan segalanya. Sampe-sampe saat itu gw lebih milih nulis di majalah dibanding mikirin lesson plan gw buat minggu depan (ha..ha..ha.. untungnya sekarang gw dah sedikit sadar mana yang harus gw kerjain demi sesuap nasi ha.ha..). Hal yang paling asik dari menulis semua itu (hasil2 yang ada di majalah dan bisa dibaca langsung di SP ) adalah mencari bahan dan berita melalui wawancara langsung. Ini nih yang paling seru dari semuanya… gimana ga, biasanya gw dan MoM Sriloka bakal nyasar-nyasar dulu nyari alamat sebelum ketemu ma orang yang akan diwawancarai. Untungnya MoM Sriloka pinter kalo soal nyari2, dan pengertian juga karena suka traktir makan seusai wawancara (ha.ha.. tau aja kalo gw bakal kelaparan abis pul dari kerjaan he..he...). Tapi apa mau dikata pada akhirnya setelah beberapa edisi, dengan sangat-sangat terpaksa dan disayangkan gw harus keluar dari SP karena alasan beberapa hal (hiks..hiks..). Tapi dengan begitu gw ga akan pernah mematikan kegiatan menulis gw, dan ga akan meninggalkan SP begitu saja (SP dan teman-teman di dalamnya sudah menjadi bagian dari hidup gw.. hiks..hiks…).

Kenapa Juga gw mo nulis di Majalah!!

Selama menulis untuk SP, banyak sekali teman-teman baru yang berdatangan dalam hidup gw. Karena SP pula pola pikir gw berubah 180 derajat. Gimana ga, orang-orang berbakat dan orang-orang bijak, mulai bermampiran dan memberikan gw konsep-konsep baru mengenai kehidupan. Bukan hanya belajar nulis saja yang ternyata gw dapatkan, tetapi juga pelajaran hidup yang sangat-sangat berharga. Gw ngerasa hutang budi dengan SP, dan rasa terima kasih gw ga akan pernah cukup buat mengungkapkan ini semua. Trus kenapa juga awalnya gw bisa gabung di SP??? Ternyata dari hasil Selidik punya selidik, selain gw hobi nulis, sesungguhnya ada juga motif lain dibalik itu semua. Hal ini baru gw sadari ketika gw merenungkan apa saja yang sudah terjadi di dalam hidup gw. Motif gw yang satu itu tercetus atas dasar keinginan dan ego yang besar untuk nunjukin kemampuan gw kepada seseorang. Seorang lulusan sociology yang memang cukup berjasa dan cukup berkesan, serta cukup memengaruhi kehidupan gw di waktu itu. Dia satu-satunya orang yang menjadi motivasi gw untuk melakukan apa yang sebenarnya enggan gw lakuin (membuktikan diri dan menunjukan kebolehan). Dia (Orang yang pernah bercita-cita jadi penulis itu) adalah orang yang pertama kali gw sayang dengan tulus, tetapi pergi karena sesuatu hal (hiks..hiks…). Namun, kepergiannya membuat gw sadar kalo gw harus lebih banyak belajar lagi tentang kehidupan dan bagaimana cara hidup yang benar. Karena dia juga gw jadi sadar bahwa betapa lugu dan gobloknya gw selama ini. Ternyata motif inilah yang akhirnya membuat gw jadi aktif di segala kegiatan, dan sampe-sampe temen gw bilang, gw ga fokus dengan apa yang gw tuju dalam hidup gw. Bahkan jadi guru pun motifnya berawal karena dia. Menyedikan… mengetahui bahwa semua motif dari kegiatan yang gw lakukan selama itu berawal dari kisah gw tentang dia. Namun setelah lama berkecimpung di lingkungan yang lumayan memberikan kondisi yang baik, dan setelah apa yang gw inginkan pun tercapai, akhirnya motif itu pun berubah seiring waktu. Tiga tahun berlalu dengan cepat, gw pun sadar ada hal yang lebih berharga dari sekedar menunjukkan diri saja. Kasih dan ketulusan untuk memberi jauh lebih amat sangat berharga dibandingkan dengan motif (menunjukan diri) yang selama ini menjadi dasar tindakan gw. Namun apa mau dikata walaupun kadang ingin meninggalkan apa yang sudah dicapai dan diperbuat, karena menyadari bahwa betapa rendahnya motivasi dari semua yang gw lakukan, namun rasanya gw sudah terlanjur tercemplung dan berkotor-kotor ria di dalamnya. Setelah menyadari semua ini, gw pun akhirnya berbenah diri mencari arah tujuan gw sebenarnya… Ingin jadi apaan sih gw??? Apa mantap mo jadi penulis??? Apa sudah mantap jadi guru Playgroup??? Akan tetapi apa pun yang gw lakukan, selama kasih dan ketulusan yang menjadi motifnya, gw rasa itu yang akan membuat gw bahagia.

Writing Skill cabutan

Sekarang ini kalo ditanya apa motif lo melakukan semua yang lo lakukan di dalam hidup lo??? Jawaban gw yang masih duniawi banget adalah “I want to make my Mom Happy to what I’ve done. That’s it.” Tanpa disangka motif yang satu ini malah menjadi motor penggerak bagi gw. Gw yang tadinya merasa kehilangan arah karena menyadari tujuan dari motif gw sudah tercapai, akhirnya dapat bangkit lagi melanjutkan apa yang sudah gw mulai. Kalo dipikir-pikir kembali mengenai semua yang gw lakukan selama ini, rasanya gw tidak akan pernah berkembang tanpa orang-orang berjasa dibaliknya. Apa lagi mengenai kemampuan gw menulis (kan udah tau dasarnya cuma iseng-iseng n ga tau rambu-rambunya) tentunya banyak sekali yang sudah memberi pelajaran dan masukan-masukan bagi tulisan gw selama ini. Ada beberapa orang yang memang berjasa banget dalam hal ini.. dan rasanya ingin sekali gw sebutkan nama mereka di dalam tulisan ini, namun gw pun ga mo mengekspos mereka tanpa persetujuan dari mereka terlebih dahulu. Karena gw tau mereka semua adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan orang-orang yang tidak punya motif untuk menonjolkan diri (he..he.. kasih kabar ya, kalo mo ditulis namanya.. haha). Tetapi yang jelas gw banyak mengucapkan terima kasih atas skill2 cabutan yang selama ini gw pelajari dari mereka dan Anda-anda sekalian. Semoga dengan apa yang selama ini gw lakuin dapat bermanfaat bagi semua orang. Satu hal yang ingin gw kutip dari kata-kata seorang teman kepada gw, yang akhirnya merubah style tulisan gw hingga saat ini adalah “Menulislah dengan hati dan jadilah dirimu sendiri”.

Sabtu, 22 Agustus 2009

Kekuatan Cinta Adut (artikel lomba BFBA-BFCG)

Kekuatan Cinta Adut

Lisa dan Willy adalah pasangan muda yang sudah lama bertunangan dan akan segera menikah. Namun, rencana pernikahan mereka harus kandas lantaran Willy meninggal, seminggu sebelum hari pernikahannya. Willy yang semasa hidupnya amat menyukai binatang perliharaan, ternyata terlahir kembali sebagai seekor anak anjing peliharaan Ibu Grambel, yaitu seorang janda tua yang hidup sendiri dan bertempat tinggal di sebelah rumah Lisa.

Sementara tunangannya Willy menjalani hidupnya sebagai seekor anjing, Lisa sang penulis novel akhirnya menerima tawaran bosnya untuk mengambil cuti dalam beberapa minggu guna menenangkan dirinya. Selama liburannya di rumah, Lisa menjadi lebih mengenal dekat para tetangganya. Satu hal yang membuatnya terhibur adalah seekor anak anjing Ibu Grambel yang baru saja lahir, dan tak lain adalah kelahiran kembali dari tunangannya itu. Akhirnya kekuatan cinta mereka menyatukan mereka kembali, walaupun dalam wujud yang berbeda. Lisa yang sebelumnya tidak menyukai seekor anjing, ternyata telah jatuh hati dengan makhluk lucu yang selalu menyapanya itu. Ia pun kemudian memelihara dan merawat anak anjing itu dirumahnya. Peliharaannya itu diberi nama Adut, yang artinya ‘Anjing Gendut’. Selama tinggal bersama Adut, banyak kejadian aneh yang selalu mengingatkan Lisa tentang tunangannya. Perihal prilaku Adut yang sepertinya tahu banyak tentang kebiasaan dan kesukaan Lisa. Keanehan prilaku anjingnya itu semakin menjadi, ketika Victor sahabatnya semasa kuliah muncul dan mulai berusaha mendekati Lisa. Apa pun yang dilakukan Victor demi merebut hati Lisa sepertinya tidak disukai Adut. Adut pun selalu uring-uringan jika Victor datang menemui Lisa di rumahnya ataupun mengajaknya pergi untuk makan malam bersama. Kelakuan Adut terhadap Victor semakin lama membuat Lisa kepusingan. Sampai suatu ketika Lisa sempat berniat membuang dan menelantarkan Adut, karena perbuatannya yang dengan sengaja menggigit tanganVictor, ketika Victor berusaha mencium Lisa. Namun, sekali lagi karena didasari oleh kekuatan cinta, Lisa pun tidak tega dan mengurungkan niatnya untuk membuang Anjing peliharaannya itu.

Bulan demi bulan berlalu, Adut pun bertambah tinggi dan besar, namun ketidaksukaannya terhadap Victor masih saja berlanjut. Terlebih lagi ketika mengetahui niat Victor untuk melamar Lisa, membuat Adut semakin gerang dan memaksa Lisa untuk selalu bertemu Victor di luar rumahnya. Walaupun, Lisa masih dibayang-bayangi oleh sosok mantan tunangannya, namun lama kelamaan hati Lisa pun mencair berkat rayuan kata-kata manis Victor. Keputusan Lisa untuk menerima lamaran Victor membuat Adut jadi sakit-sakitan, anjing itu pun menjadi pendiam dan tak lagi memusingkan kehadiran Victor di rumahnya. Adut yang sepertinya telah kehilangan gairah hidup dan hanya bisa tidur terdiam di dalam kandangnya, seakan-akan merelakan dan mengerti perasaan majikannya. Waktu pun berlalu, dan hari pertunangan akhirnya tiba. Di akhir pesta pertunangannya Victor mabuk berat dan secara tidak sadar mengucapkan sesuatu perihal kematian Willy yang juga sahabatnya semasa kuliah. Dengan sembarangan, Victor menceritakan rasa cintanya yang lama ia simpan terhadap Lisa, dan rasa sakit hatinya kepada Willy ketika datang ke rumahnya untuk mengantarkan undangan pernikahannya dengan Lisa, pada hari dimana Willy mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Sambil gembira dan tertawa lebar, Victor dengan bodohnya mengatakan rahasia yang seharusnya ia simpan rapih. Sebuah rahasia besar, dimana ia telah mencapurkan obat tidur pada minuman yang disuguhkannya kepada Willy. Seketika mendengar hal itu Lisa menjadi garang, dan pergumulan di antara mereka pun terjadi di luar rumah, sampai akhirnya satu buah mobil melintas dan akan menabrak Lisa. Namun, saat itu Adut telah bebas dari kandangnya dan berhasil menyelamatkan Lisa. Karena terbentur aspal Lisa pun pingsan dan tidak mengetahui kalau anjingnya itu telah mati menyelamatkannya. Kemudian karena perbuatan baik yang dilakukan Willy sebagai seekor anjing, Willy pun diberi kesempatan untuk menemui Lisa di alam bawah sadarnya, dan memberitahukan atas semua yang telah terjadi. Dengan mengucapkan selamat tinggal dan mendoakan semoga selalu bahagia, sosok Willy pun lenyap bersamaan dengan cahaya yang membuka pelupuk mata Lisa. Setelah sadar dari pingsan, Lisa pun akhirnya memutuskan pertunangannya dengan Victor.

By. Selfy Parkit

Dhammatalk Bersama Ajahn Brahm

Setelah menunggu selama hampir 2 tahun, akhirnya pada tanggal 20 Februari 2009 tepatnya hari sabtu di Pantai Indah Jakarta, Yayasan Ehipassiko yang saat itu bekerja sama dengan BFI (Buddhis Fellowship Indonesia) berhasil menyelenggarakan Dhammatalk dengan pembicara bhikkhu berkebangsaan Australia, Ajahn Brahm. Dhammatalk ini sebenarnya tidak hanya diselenggarakan di Jakarta saja. Dengan bekerja sama oleh berbagai lembaga lokal di setiap kota, Yayasan Ehipassiko berhasil menyelenggarakan Dhammatalk tersebut di berbagai kota seperti, Palembang, Sukabumi, Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar. Sebagai yayasan penerbit yang telah menerbitkan buku terjemahan ‘Membuka Pintu Hati’—buku aslinya berjudul ‘Opening the Door of Your Heart’, sepertinya Yayasan Ehipassiko sudah berhasil mewujudkan harapan bagi para pembacanya untuk bertemu secara langsung dengan penulis buku tersebut.

Walaupun pembukaannya acara ini sempat terlambat untuk beberapa menit, namun Dhammatalk yang dihadiri oleh kurang lebih 2000 orang ini tidak membuat para pengunjungnya kecewa. Karena Tidak hanya membabarkan Dhamma saja, sesampainya di lokasi Ajahn Brahm pun dengan murah hati menyempatkan waktunya untuk melayani umat yang meminta tanda tangannya. Selain buku pertama dan keduanya yaitu ‘Mindfulness Bliss and Beyond’ yang juga diterbitkan oleh Yayasan Ehipassiko dengan judul ‘Superpower Mindfulness’, buku ketiga yang berjudul ‘Hidup Senang Mati Tenang’ pun laris terjual. Buku ketiga yang berisi kumpulan-kumpulan ceramah Ajahn Brahm ini sengaja diterbitkan Yayasan Ehipassiko secara khusus, oleh karenanya kita tidak akan menemukan judul asli dari buku tersebut. Sebenarnya apa yang membuat buku dan Dhammatalk dari Ajahn Brahm ini banyak diminati oleh para pembaca dan umat Buddha? Rupanya bhikkhu kelahiran 1951 ini memang memiliki karisma yang luar biasa. Selain senyumnya yang tak pernah berhenti, caranya menjawab pertanyaan pun sungguh di luar perkiraan. Di awal pembukaan Dhammatalk MoM Handaka selaku pendiri Ehipassiko Foundation sempat sedikit bercerita mengenai pengalamannya selama berkeliling kota di Indonesia bersama Ajahn Brahm. Beliau pernah mengajukan pertanyaan kepada Ajahn Brahm dan Ajahn Brahm menjawabnya dengan sangat luar biasa. Kurang lebih pertanyaannya seperti ini “Ajahn, apakah Anda Masih bisa marah?” Pertanyaannya yang sedikit nakal tersebut tak lain didasari oleh rasa penasarannya terhadap Ajahn Brahm yang sudah menjelaskan begitu terperinci mengenai [1]Jhāna-Jhāna dan [2]tingkat-tingkat kesucian di dalam buku keduanya. Pertanyaan yang sederhana namun sangat mengena, karena banyak pula para pembaca dan umat Buddha yang pastinya bertanya-tanya apakah benar Ajahn Brahm sudah mencapai tingkat kesucian tertentu. Lalu sambil menggeram, mata melotot dan mulut menyeringai lebar, Ajahn Brahm menjawab dengan begitu sederhana, “You must try very hard to make me angry”, yang artinya “Kamu harus berusaha dengan sangat keras untuk membuat saya marah”.

Dhammatalk yang berlangsung kurang lebih selama 3 jam itu sungguh memberikan pencerahan tersendiri bagi umat yang mendengarnya. Selain ringan dan mudah dicerna kisah-kisahnya juga dikemas dan diceritakan oleh Ajahn Brahm dengan sangat apik dan penuh humor. Tak heran jika semua pengunjung tertawa dan merasa terhibur. Jadi bukan hanya batin saja yang tercerahkan, fisik pun tersehatkan oleh senam tertawanya.

Oleh Selfy Parkit. Didedikasikan untuk orang tua, Friends dan semua Makhluk.



[1] . Tingkat konsentrasi yang diperoleh seseorang melalui meditasi.

[2] . Di dalam ajaran Buddha dikatakan ada 4 tingkat kesucian yang dapat direalisasi oleh setiap makhluk yaitu Sotapana, Sakadagami, Anagami dan Arahat.

Bangkai Tikus


Oleh Selfy Parkit

Kekesalan ini membawaku kepada kemarahan. Beberapa hari yang lalu di kamarku terjadi sesuatu yang menghebohkan. Di sore hari ketika aku sedang menikmati istirahatku tiba-tiba adik perempuanku berseru sambil memprotes dan memecahkan keheningan tidur soreku. “Bau..” begitu katanya, kamarku bau tikus mati alias bangkai tikus. Aku yang akhirnya terbangun dari tidurku berusaha dengan keras menarik nafas, mencari tahu kebenaran kata-kata adik perempuanku. “Mana, ga bau kok!”, seru ku sambil mengendus-enduskan hidungku. Lalu, karena sudah terbangun dari tidur, tak ada lagi yang dapat aku lakukan di kamarku selain berbaring. Namun karena bosan dan tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat aku pun beranjak meninggalkan kamar tidurku dan lari ke ruang tamu. Aku duduk dengan tenang sambil menonton televisi acara reality show. Beberapa saat kemudian perut ini terasa lapar dan meminta jatah hariannya. Aku pun mengisi perut ini tanpa lagi memikirkan si bangkai tikus yang bau itu, yang sedang menyebarkan kebauannya di dalam ruangan kamarku yang cukup kecil itu. Selesai bersantap sore, sekali lagi aku diributkan oleh gerutuan-gerutuan adik perempuanku persoalan bau yang masih saja sama. “Kenapa masih saja menggerutu! Ya, dicari dong di mana bangkai tikusnya.” kataku sambil menghampirinya. “Besok aja, udah sore ribet.” Jawab adikku enteng. “Kalau ntar mau tidurnya bau-bauan, ya udah!” seruku cuek. Lalu ketika berpikir sejenak, adikku ini pun masuk ke dalam rumah, dan tak lama kemudian ia pun berteriak memanggilku, “Kak, cepetan sini bantuin aku dong!” Ternyata seketika pikirannya pun berubah, tak mau menunggu waktu yang ada untuk menyelesaikan permasalahan bau yang mengganggunya. Apalagi tidur bersama dengan bau yang menyengat dan membangkitkan selera untuk marah-marah menyalahkan tikus yang sudah mati itu.

Sedikit demi sedikit dan satu persatu dikeluarkannya barang-barang yang ada di kamar tempat tidur kami itu. Mulai dari meja kecil, rak-rak buku, kardus-kardus bekas miliknya yang ternyata sudah tak terpakai lagi sampai dengan lemari yang kurang lebih isinya buku-buku dan barang-barang lainnya pun mendapat giliran untuk berpindah dari tempatnya. Setelah sebagian besar dari barang-barang tersebut sudah keluar dari kamar, seketika bau bangkai tikus itu pun sudah tidak tercium lagi di dalam kamar kami, melainkan pindah menyebarkan aromanya di ruang tamu tempat kami menaruh barang-barang tersebut. Sebagian dari orang-orang di rumahku mulai heboh, ada yang berpendapat ini dan itu, ada yang mengusulkan ini dan itu. Namun tak satu pun dari mereka yang turun tangan untuk membantu, karena takut akan melihat bangkai tikus yang jelas-jelas sudah tentu mati. Dengan gerutuan yang masih saja mendesis, di tambah lagi dengan rasa sedikit takut dan geli, adikku pun perlahan-lahan mencari-cari bangkai tersebut. Dibongkar dan dipisahkannya barang-barangnya yang sudah tak terpakai itu untuk dikumpulkan. “De, lebih baik barang-barang yang tak dipakai itu dibuang saja, atau kalau ada barang yang masih layak pakai tapi tidak dibutuhkan lagi lebih baik dikasih orang saja!” teriakku sambil membersihkan barang-barang yang ada di dalam kamar dan merasa kesal mendengar gerutuan-gerutuan adikku yang tak ada habisnya itu, ‘Bukannya di cari malah menggerutu terus’ pikirku. Saat itu kemarahan pun mulai timbul dan hampir memecahkan pengendalian diriku. Terlebih lagi melihat kamar kami yang memang agak sedikit berantakan karena sudah lama tidak mengalami pembersihan besar-besaran membuat beban pikiranku semakin bertambah. Mengapa selama ini masing-masing dari kami selalu saja melemparkan tugas dan tanggung jawab untuk membersihkan kamar tersebut, saat itu aku mulai menyesalinya.

Satu persatu barang yang sudah tak bermasalah dan tak ada bangkai tikus di dalamnya dimasukkan kembali ke dalam kamar, begitu juga dengan barang-barang yang tak terpakai, dikumpulkan dan dibuang ke dalam tong sampah. Dengan begitu akan semakin mudahlah pencarian bangkai tikus kami. Sampai akhirnya teriakan histeris pun terdengar di tengah-tengah ruang tamu. “Ah..ah.. ka, ini-ini bangkainya sudah ketemu!”, seru adikku sambil meringis kegelian dan menunjuk-nunjuk ke arah bangkai tersebut. Bangkai dari anak tikus yang baunya dipermasalahkan itu bersembunyi di dalam keranjang tumpukan pakaian kotor. Seketika rasa kesal kami pun lenyap bersamaan dengan dibuangnya bangkai tikus kecil yang menyebarkan bebauannya itu, sebau rasa kesal kami yang akhirnya menyebabkan kemarahan. Dengan begitu, kamar kami pun terbebas dari bau-bau yang menyengatkan. Namun, tidak dengan pikiran kami yang masih suka terusik dengan kekesalan dan kemarahan hanya karena bau dari bangkai seekor tikus.

Sesungguhnya bangkai tikus itu seperti kekotoran batin di dalam diri kita yang harus dibersihkan. Untuk membersihkannya kita harus sabar dan perlahan-lahan mencari tahu dan mengenali si kekotoran batin tersebut hingga akhirnya bisa kita bersihkan yaitu dengan belajar dan berlatih atau mempraktikannya. Di dalam pelatihan dan pembelajaran itu, kita akan banyak menemukan hal atau ajaran dan orang-orang yang akan memberikan petunjuk dan saran-saran. Akan tetapi, tak banyak dari mereka yang bisa dan mau turun tangan untuk membantu kita dalam membersihnya. Kita sendirilah yang harus lebih giat berusaha dan tidak selalu menggantungkan diri terhadap makhluk lain. Selain itu juga akan ada banyak ajaran-ajaran yang mengaku kebenaran, yang mendorong kita untuk berpikir lebih bijaksana. Hingga akhirnya kekotoran batin tersebut bisa kita buang dari batin ini dan kebahagiaan pun akan datang mengisinya. Namun, jangan sampai bau dari bangkai tikus itu kembali merusak kebahagiaan kita.

Thanks to My MoM&Friends

SEMINAR SEHARGA DUA SETENGAH JUTA


15 Mei 2009, gw ditawarin ikut seminar seharga 2,5 juta dari temen gw Sinato. Melihat harganya otomatis gw jadi penasaran dan pengen banget ikut seminar itu (maklum ga pernah datang seminar yang mahalnya sebegitu..haha..). Eh… sayangnya seminar itu diselenggarakan pada tanggal 29 s/d 31 Mei 2009, yang kebetulan tanggal 29 Mei itu adalah hari Jum’at, yaitu hari terakhir gw masuk kerja dalam seminggu. Wah kalau gw bener-bener pingin mewujudkan niat gw, maka mau ga mau gw harus tidak masuk kerja pada hari itu dan ada 3 alternatif yang bisa dan harus gw lakuin tentunya. Alternatif pertama adalah gw harus bolos kerja, kedua gw harus izin dan tidak mengatakan alasan dan tujuan yang sebenarnya, dan alternatif terakhir adalah meminta izin dengan mengatakan yang sejujurnya (yang otomatis peluang kemungkinannya adalah ditolak. Hahaha…). Wah kalau begini bisa-bisa ga jadi ikut seminar seharga 2,5 juta neh. Awalnya gw emang males banget untuk minta izin ga masuk kerja Cuma buat ikut seminar doang. Tapi melihat price-nya and kesempatan yang belum tentu datang 2 kali, bikin gw memberanikan diri minta izin sama bos gw untuk ga masuk kerja. Sebenernya lagi neh, 3 alternatif cara yang harus gw ambil itu udah ada di otak gw. Tapi sekali lagi, gw yang ga pernah minta izin untuk urusan yang begituan, jadi ngerasa enggan buat ngelakuinnya (kalo ga ngerti ngelakuin maksudnya melakukannya haha..). Secara gw ga suka izin kerja buat urusan pribadi he..he…. Tapi saat itu gw bener-bener nekad, walaupun jujur gw ngerasa takut, nervous, and gelisah saat nunggu-nunggu kesempatan buat ngomong ma bos gw. Padahal seminar itu masih 2 minggu lagi, tapi gw pikir gw harus minta izin sekarang, karena pada dasarnya gw enggan dipenuhi pikiran yang gelisah setiap harinya hanya karena ingin mengatakan sesuatu yang pada akhirnya harus gw katakan juga (he..he.. kan goblok itu namanya hahaha…).
So, saat itu keputusan untuk tidak masuk kerja selama 1 hari sudah dibulatkan, tapi sekali lagi cara apa yang harus gw ambil??? Kalau bolos, gw rasa itu adalah alternatif dan cara tergila yang pernah gw pilih. Karena jujur aja.. gw ini termasuk orang yang ga enakkan kalau bolos. Jangankan bolos kerja, bolos sekolah aja langka banget (he..he.. gw kan masih lugu.. we..hwek.. mo muntah rasanya ngedengernya ya!! Haha.. makanya gw agak-agak kuper..hahaha). Cara yang memungkinkan gw ambil adalah alternatif kedua dan ketiga. Minta izin dengan mengatakan yang tidak sebenarnya, alih-alih kemungkinan besar disetujui sudah di depan mata, yaitu dengan alasan urusan keluarga kek, sakit kek, dan lain sebagainya (wah hebat bener pikiran picik gw, he..he.. bisa ngarang ampe yang ngga-ngga segala ha..ha..). Kemudian pilihan atau alternatif ketiga yaitu dengan mengatakan alasan yang sebenarnya, dan gw tau pasti bos gw ga akan kasih izin untuk ga masuk dengan alasan yang beginian. Sudah tentu temen-temen gw pun tahu hasil yang mungkin gw terima kalau gw pake alternatif yang terakhir tersebut. Makanya, rata-rata dari mereka nyaranin gw buat ngelakuin cara yang kedua yaitu minta izin dengan alasan keluarga dan sebagainye… Gw yang ga pernah ngelakuin itu sama bos gw (ha..ha.. innocent ;P masa seh.. yang bener loooo..) otomatis ngerasa takut dan ga enakkan, apalagi kalo gw disuruh bohong, wah keringet dingin gw udah ngucur duluan tuh. Ha..ha… untungnya ada 1 orang temen gw yang meyakinkan gw kalau ada kemungkinan gw bakal diizinkan bos gw dengan mengatakan alasan yang sebenarnya. Alasan yang dikatakan temen gw yang satu ini nampaknya cukup masuk akal juga dan menambah keyakinan serta keberanian gw buat ngomong sama bos gw. Akhirnya dengan segala konsekuensi yang ada, gw menemui bos gw dan menyatakan maksud dan tujuan gw, tentunya dengan mengatakan alasan dan tujuan sebenarnya.
Benar saja apa yang gw prediksikan akhirnya terjadi. Walaupun sudah berkata jujur, tetap saja izin untuk tidak masuk kerja dengan alasan ikut seminar guna pengembangan karakter diri tidak berhasil. Awalnya bos gw dengan telak menolak permintaan izin gw, karena selain alasannya kurang penting, ternyata pada hari yang sama ada salah satu guru yang juga izin untuk tidak masuk. Setelah berkata beberapa kata, ternyata bos gw juga cukup bijaksana dalam hal ini, dan gw paham benar posisi dia sebagai seorang bos. Kalau saja gw saat ini diizinkan untuk ga masuk kerja dengan alasan pergi seminar atau alasan-alasan lain yang katakanlah tidak terlalu emergency, tentunya nanti akan ada banyak lagi pekerja-pekerja lainnya, yang juga meminta izin dengan alasan yang sama. And jika bos gw seandainya menyetujui izin gw, maka dia pun takkan pernah bisa berkata tidak kepada mereka-mereka yang juga meminta izin di masa yang akan datang. Karena toh bos gw akan dianggap tak adil dalam hal ini. Trus… kenapa kok gw bilang bos gw ini cukup bijaksana? Kan dia juga nolak permintaan gw! Eh… tunggu dulu, sebenernya dia ga nolak permintaan izin gw mentah-mentah kok. Awalnya gw pikir putuslah sudah harapan gw buat ikut seminar seharga 2 setengah juta ntuh, namun setelah bos gw mengajukan beberapa pertanyaan dan pernyataan, ternyata kejujuran gw ga sia-sia. Pada dasarnya dia setuju kalau gw ikut dan hadir dalam seminar itu, hanya saja dia ga bisa memberikan izin secara formal, yang tentunya ada konsekuensi yang harus gw terima kalau gw ga masuk pada hari itu (potong gaji – potong gaji dah… hahaha… nasib..nasib.. hehehe..). sebagai seorang bos dia pun benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan para karyawannya. Sampai akhirnya keputusan yang dia berikan kepada gw adalah dia tidak bisa melarang gw untuk tidak pergi dan juga tidak dapat memberikan izin untuk tidak masuk kerja. Hmmm.. namun, pada dasarnya dia menyetujui keputusan gw untuk hadir dalam seminar itu (baik kan bos gw!!! Hore.. ikut seminar.. ikut seminar.. gratisan .. hahaha…) walaupun kemungkinan ada potongan gaji dan lain sebagainya, gw tetap saja menghormati keputusan bos gw. Terlebih lagi gw berterima kasih atas kesempatan dan kepercayaan yang dia berikan buat gw. Seketika gw jadi tambah bersemangat dalam berkerja, dan yang terpenting gw sudah lega karena telah mengatakan serta mengungkapkan maksud dan tujuan gw dengan sejujur-jujurnya. Thx Bos!
Selfy Parkit’09