Sabtu, 16 Mei 2009

PERUBAHAN


Tertegung sendiri melihat lalu-lalang orang yang keluar masuk bioskop membuatku sedikit terhibur. Dikala ku menunggu seseorang walaupun tak special, tetapi sangat berarti dan kukasihi, membuat waktu terasa lama. Sedetik seakan satu jam bila pikiran mulai gelisah. Di dalam keresahan itu sepintas ingatan menghampiri dan menyapaku untuk masuk ke dalamnya. Kenangan manis, masa kecil yang indah, ingatan yang memalukan, sampai dengan keadaan berat yang Aku hadapi akhir-akhir ini, semua hadir memenuhi pikiranku. Aku tak tahu seberat apakah masalah yang Aku hadapi, karena sebagian orang mungkin menganggap hal ini hanyalah sebuah masalah. Kadar dan tingkatnya suatu masalah memang tergantung dari personal masing-masing, tapi yang ku alami mungkin terlalu berat bagiku.

Sebagai anak dari seorang pengusaha kaya yang baru saja jatuh miskin, ini pertama kalinya Aku merasa duniaku akan berakhir dan Aku seakan ditinggalkan oleh semua orang yang ku kenal. Namun disela kesedihanku, Aku berusaha untuk tetap merasa tegar dalam mengatasi hal-hal tersebut. Walaupun rasa sakit bergejolak di dalam dadaku, Aku mencoba untuk tetap tenang dan berpikir, menangis bukanlah sebuah jawaban. Tetapi, sebagai insan biasa yang masih memiliki berjuta emosi Aku pun tertunduk tak berdaya. Kian lama kian hari keputuasaan mulai bermunculan, keegoisan mulai berdatangan, emosi mulai menguasai diri, sampai akhirnya sedikit pun Aku tak mengenal siapa diriku dan apa yang terbaik untukku. Aku meraba-raba, mencari sana dan sini, di manakah kebenaran yang sesungguhnya, di manakah kedamaian berpijak, dan di manakah akhir dari penderitaanku ini. Sampai akhirnya Aku menyadari di sinilah hukum perubahan berperan. Semua yang pernah Aku pelajari dan ketahui seakan hilang pada detik-detik di mana kesadaranku mulai melemah. Ternyata semua itu hanyalah konsep-konsep yang tidak tertanam di dalam sanubariku, hingga akhirnya terlupakan. Begitu pula dengan masalah dan penyakit batin yang menghantuiku, muncul lalu lenyap dan terlupakan untuk sesaat. Kemudian muncul kembali dengan segudang tantangan yang harus dihadapi. Fenomena yang tidak akan berhenti sampai Aku dapat menyelesaikannya.

Ingatanku tertarik kembali pada sebuah jam yang ada di pergelangan tangan kiriku, waktu menunjukan lima belas menit sudah berlalu dan Aku semakin gelisah. “Ah… ada apakah gerangan dengan Abang angkatku itu!”. Pembawaannya yang cuek membuatku sedikit khawatir kalau-kalau dia sengaja membuatku menunggu lama di sini dan bukan hanya itu saja, sifatnya yang jahil bisa saja membuatnya mengerjaiku untuk semalaman menungguinya di bioskop. “Tetapi tidak mungkin Abangku setega itu,” pikirku. Abangku orang baik, sifat dan pembawaan uniknyalah yang selama ini banyak membuatku terhibur, kurang lebih membuatku sedikit tersenyum. Karakternya yang hampir tak pernah serius, terkadang membuat dirinya kesulitan dalam berkomunikasi dan menyampaikan sesuatu yang sifatnya serius. Jika ia berbicara serius pada semua orang yang mengenalnya termasuk diriku, pastilah akan selalu bertanya-tanya di dalam hati, “Harun berbicara serius, atau bercanda ya?” Ada cerita lucu mengenai hal ini, yang akhirnya memberikan sebuah pelajaran berarti buat si Abangku itu. Alhasil si Abang mencintai seorang gadis yang merupakan teman dekatnya dan berniat mengatakan cintanya kepada si gadis tersebut. Tiap kali si Abang mengutarakan isi hatinya, si gadis selalu tersenyum tak percaya kepada ucapannya. Setiap mendengar kata “Aku cinta kamu, I love you, aishiteru, wo ai ni, aku tresno karo koe!” atau apalah kata-kata si Abang, si gadis hanya akan tertawa dan menganggap si Abang cuma berusaha menghibur dirinya. Menyakitkan memang bagi si Abang. Namun itulah kenyataannya, si Abang harus menerima hasil yang ditanamnya karena keseringannya bercanda. Lalu apa yang terjadi dengan kisah cinta si Abang? Cinta yang sempat terucapkan, namun tak pernah tersampaikan. Sampai saat ini si Abang hanya bisa memendam perasaan yang sesungguhnya. Canda dan banyolan si Abang selalu mengisi hari-hari setiap orang yang mengenalnya. Walaupun terkadang ada saja orang yang menganggapnya menjengkelkan karena usil dan jahilnya itu tidak pernah ketinggalan, namun aku mengerti sepenuhnya karakter dan kondisi Abang angkatku ini. Meskipun kami berbeda agama, namun kami saling menghormati. Dia sangat rajin beribadah menurut keyakinannya, Aku pun aktif beribadah menurut agama dan keyakinanku sendiri. Akan tetapi, hal ini tak pernah menjadi penghalang bagi hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat.

Lalu-lalang kendaraan, bunyi mesin kendaraan dan dentaman-dentaman klakson mobil menambah riuh perasaanku. Aku pun menghela napas untuk sesaat berharap semuanya akan baik-baik saja, karena baru saja sepintas pikiran buruk mengusik ketenanganku. Kecelakaan motor tadi sore masih melekat dan terekam jelas di dalam ingatanku, rasa takutku mengatakan kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada si Abang. Aku menarik nafas dan berdoa menenangkan pikiranku, karena hal inilah yang selama ini membantuku mengatasi masalah-masalahku. Menenangkan pikiran dapat membuatku berpikir logis, ‘Inilah hal yang harus Aku hadapi dan terima dengan lapang dada, yang tentunya memerlukan semangat yang luar biasa’. Aku teringat pada salah satu orang bijak yang pernah berkata: “Semangat dan keuletanlah yang patut dipuji dari seseorang,” dan inilah yang mulai aku tanamkan di dalam lubuk hatiku.

Dua puluh menit hampir berlalu, di manakah si sawo matang kurus berambut cepak itu? Dia tak jua kunjung datang. Hiruk pikuk orang yang keluar masuk bioskop hampir tak ada, karena waktu pemutaran film segera dimulai. Kulayangkan pandanganku ke kiri dan kanan jalan raya, namun yang ditunggu belum juga kelihatan. “Ah… apa ini kado terindah yang Abangku janjikan di hari ulang tahunku!!” gerutuku gerang. Aku hampir saja sedikit kesal, sampai akhirnya Aku berpikir lebih baik minum soft drink daripada menyimpan api di dalam dada yang malah akan menambah panas dan haus tenggorokanku. Akupun bergeser sedikit ke kiri tanpa mengangkat bahuku, membalikkan badanku dan menyapa pemilik warung kecil yang tampaknya cukup ramah. Warungnya terlihat rapih dan masih tercium bau cat pada warna birunya, menandakan warung itu baru saja direnovasi. Walaupun kecil warung yang letaknya di pinggir jalan ini terlihat komplit dan memiliki apa saja yang dibutuhkan pembeli sehari-harinya.

“Pak, minta soft drinknya satu!”, sahutku seraya si Bapak gemuk pemilik warung itu segera mengambil sebotol minuman dingin dan memberikannya kepadaku. Tersungging senyuman manis di bibir laki-laki ramah yang raut wajahnya mulai mengeriput itu. Aku pun membalas senyumannya dan memberikan sejumlah uang seharga minuman tersebut.

“Terima kasih yah Neng!” Kata-kata itulah yang menutup percakapan kami, yang mungkin saja tidak akan Aku temukan di tempat lain. Perkataan itu telah sekian kalinya kudengar, bukan satu atau dua kalinya terucap dari bibir si pemilik warung tersebut. Tiap kali ada orang yang datang untuk membeli ataupun hanya melihat-lihat dan tak jadi membeli, si Bapak pemilik warung akan mengucapkan terima kasih. Melihat keramahan dan senyuman si Bapak tadi membuatku sedikit tersadarkan, bahwa perlunya kita mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Seperti halnya rasa dan kata terima kasih yang diucapkan si Bapak pemilik warung itu, membuktikan bahwa betapa besarnya rasa syukur di dalam dirinya dan semangat juang dalam menghidupi keluarganya, yang hanya dengan berusaha warung kecil-kecilan. Entah sedikit atau pun banyak rejeki yang ia terima, ia akan selalu berterima kasih dan mensyukurinya. Seketika itu terlintas di benakku, ‘Lebih baik mensyukuri saat ini daripada menggerutu karena kesal, Abangku sudah senang hati mengajakku nonton, sudah seharusnya Aku berterima kasih untuk itu dan bukan menodainya dengan umpatan-umpatan ataupun sumpah serapah yang menyakitkan’. Menyadari hal ini hatiku terasa lega dan merasa bahagia, benarlah kata apa yang dikatakan oleh Buddha Gotama bahwa Dhamma ada di sekitar kita, dan kebahagiaan ada di dalam diri kita masing-masing.

Kuteguk minuman itu sedikit demi sedikit, hingga rasa hausku pun mulai terobati, sampai akhirnya terlihat sesosok laki-laki kurus dengan motor bebeknya yang berwarna hitam, sehitam jaket yang dikenakannya datang menuju dan memenuhi pandanganku. Terlihat sebuah helm tutup yang digantungkan dan dimasukkan ke pergelangan tangan kirinya. Dengan kedua tangannya memegang stang dan sebuah ransel merah di belakang pundaknya, si pengendara motor itu pun menghentikan motornya tepat di mana Aku sedang duduk menunggu. Setelah dua puluh lima menit lamanya, akhirnya sang kakak yang ditunggu datang juga. Diraut wajah yang kelihatannya lelah itu, terukir senyuman minta maaf di bibirnya, seraya membuka sebuah ransel berisikan sesuatu yang dibungkus rapih. Disodorkannya bungkusan rapih itu kepadaku, sambil berkata, “Dah lapar yah?, nih Abang beliin nasi goreng buat ade di jalan.”

“Ah…dikirain kado, kok sempet-sempetnya sih beliin nasi goreng, ade kan udah lama nungguin di sini. Udah dua puluh menit tau!” seruku sambil sedikit merengut.

“He..he..he.. siapa lagian yang nyuruh nungguin.” Jawab si Abang sambil menyeringai. “Tadi ban motornya bocor, jadi selama nunggu, beli nasi goreng dulu.”

“Oh… terus nasi gorengnya mau dimakan sekarang? Filmnya sebentar lagikan mau dimulai.!”

“Udah ntar makannya didalem aja, ayo masuk!”

“Emangnya bisa!?”

Akhirnya rasa resah dan gelisah yang berkecamuk di dalam pikiranku, bersamaan dengan itu seakan hilang dan Aku tidak akan pernah tahu kapan mereka akan kembali menghantuiku. Timbul, berlangsung, dan tenggelam adalah hal yang biasa, seperti halnya pemutaran film saat itu, dimulai, berlangsung, dan akhirnya selesai. Namun berakhirnya segala sesuatu bukan untuk ditangisi atau pun disesali, tetapi harus disyukuri apapun hasilnya. Seperti halnya si pemilik warung yang selalu berterima kasih dan mensyukuri atas apa yang dimiliki dan diterimanya.

Thanks ToMyMoM

By. Selfy Parkit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar