Ketika sedang sakit, umumnya setiap orang merasakan hari yang dilaluinya terasa lebih sepi, suram, dan membosankan.
Sesungguhnya banyak dari kita yang terkadang sering berpikir untuk tidak menjenguk teman kita yang sedang sakit dengan salah satu alasan yaitu takut mengganggu teman kita yang perlu beristirahat. Padahal kebanyakan dari mereka yang sedang sakit sungguh sangat mengharapkan teman, keluarga, saudara dan orang-orang yang disayangi, bisa datang dan menghibur mereka. Walaupun, ada beberapa diantara mereka yang memang tidak suka dijenguk ketika mereka sedang sakit. Lain halnya dengan keadaanku saat itu, kesepian dan kebosanan yang Aku rasakan membuatku berpikir ‘senang rasanya jika ada satu atau dua orang temanku yang datang untuk menjengukku’. Namun, tidak dipungkiri pula bahwa ada kalanya bagi mereka yang sakit memang membutuhkan waktu untuk beristirahat. Untuk itu, jika saja setiap teman-temanku berdatangan dari jam ke jam hanya untuk memberikan makanan atau buah-buahan dan mengucapkan semoga lekas sembuh, Aku rasa Aku akan lelah juga, pikirku. Sebenarnya bukan ucapan semoga lekas sembuh yang Aku harapkan saat itu, apalagi mengharapkan makanan dan buah-buahan tentunya. Tetapi, perhatian dan hiburan merekalah yang benar-benar membuatku seakan-akan sehat kembali seperti sediakala. (Dalam hal ini bukan berarti makanan dan buah-buahan itu tidaklah penting, malah sangat dianjurkan. Ha..ha… ).
Ini bukti nyata bahwa orang yang sedang sakit amatlah membutuhkan hiburan yang mampu membuat mereka tertawa, bukan kata-kata turut prihatin saja atau perasaan sedih dan menyesal karena melihat mereka yang sedang sakit. Namun dari itu semua, menjenguk orang yang sedang sakit adalah baik. Terlebih lagi jika kita bisa merawat si sakit, itu merupakan hal yang dipuji oleh Buddha. Dulu pada zaman Buddha Gotama ada seorang bhikkhu yang menderita disentri dan berbaring lemah di tempat yang telah dihamburi tinjanya sendiri. Buddha dan Ananda yang sedang mengunjungi tempat itu menjenguk bhikkhu tersebut, seraya berkata :
“Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?”
“Saya menderita disentri.”
“Apa tidak ada yang merawatmu?”
“Tidak ada, Bhante.” jawab si bhikkhu yang sedang sakit.
“Kenapa para bhikkhu tidak merawatmu?”
“Karena saya tak berguna lagi bagi mereka, Bhante.”
Lalu, Buddha berseru pada Ananda, “Pergi dan ambillah air, kita akan memandikan bhikkhu ini.”
Dengan demikian, Ananda mengambil air ; sementara Buddha menuang air, Ananda mencuci seluruh badan bhikkhu itu. Dengan mengangkatnya pada kepala dan kakinya, Buddha dan Ananda membaringkannya kembali ke pembaringannya. Kemudian, Buddha memanggil seluruh bhikkhu dan bertanya kepada mereka :
“Wahai para bhikkhu, kenapa engkau tidak merawat bhikkhu yang sedang sakit itu?”
“Sebab sudah tidak berguna bagi kita, yang mulia.”
“Kamu sekalian tidak mempunyai ayah dan ibu lagi yang akan merawatmu. Bila kamu sekalian tidak saling merawat siapa yang akan melakukannya? Siapa yang merawat Daku (Buddha) hendaknya merawat pula mereka yang sakit.”
Begitulah Buddha berkata, bahwa merawat orang yang sakit itu sama halnya dengan merawat Buddha. Lalu, Buddha pun menunjukkan nilai-nilai yang hendaknya dimiliki seseorang yang berkeinginan merawat orang sakit, sebagai berikut :
Dengan 5 (
1. Dia menyiapkan obat;
2. Dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang baik ditawarkannya dan yang tidak baik tidak ditawarkannya;
3. Dia merawat si sakit dengan cinta-kasih dan tanpa pamrih;
4. Dia tak tergoyahkan oleh tinja, kencing, muntah dan ludah;
5. Dari waktu ke waktu dia mengajarkan, memberi wawasan, menghibur serta memberinya kepuasan batin dengan membicarakan Dhamma.
Sakit yang positif
Setelah beberapa hari, Aku pun sembuh dari sakit. Aku sudah bisa jalan-jalan, makan dengan menu normal dan yang terpenting Aku sudah bisa mandi. Maklum disaat Aku sakit, mandi bukanlah lagi suatu kebutuhan tapi keperluan. Rasanya bahagia bisa melakukan rutinitas seperti sediakala. Rutinitas yang sebelumnya mungkin membosankan akan menjadi lebih menyenangkan ketika kita sembuh dari sakit. Dengan begitu, pada saat kita sehat dan mulai bosan pada kehidupan rutinitas kita sehari-hari, seharusnya kita mulai berpikir, bagaimana nanti jika kita sakit!?
Karena sudah mampu berjalan-jalan, kaki ini pun tak sabar menanti untuk digunakan sebagaimana fungsinya yaitu menapak dan melangkah keluar rumah. Hidung ini juga tak sabar ingin menghirup udara
Sesampainya di toko dan sesudah membeli barang yang dibutuhkan, Aku pun menjalankan niatku untuk berjalan kaki. Selangkah demi selangkah awalnya terasa mengembirakan, namun di tengah perjalanan kaki ini pun terasa berat. Badan ini terasa lelah dan capai, lalu semangatku pun mulai mengendur. ‘Wah Aku capai, mungkin ini karena aku baru saja sembuh dari sakit dan belum pulih benar’, pikirku. Sekejap saja rasa capai dan lelah yang begitu sedikit ini membuatku berpikir untuk segera memanjakan tubuhku. Aku pun mulai mengasihani diriku yang saat itu baru saja pulih dari sakit tetapi sudah berjalan kaki lumayan jauh dari rumah. Sejenak pemikiran-pemikiran itu membatasi semangatku yang awalnya begitu menggebu ingin berjalan kaki. Sampai akhirnya, Aku menyaksikan pemandangan di luar diriku yang menyadarkanku dan membuatku merasa malu. Pemandangan ini datang dari sosok laki-laki tua yang berjalan gontai dengan tongkat kayunya. Kulitnya hitam keriput dibungkus oleh pakaian hitamnya yang agak kumal dan ditutupi topi di kepalanya. Si orang tua ini pun dengan sangat pelan dan dibantu oleh sebatang tongkatnya berjalan dari toko ke toko meminta-minta belas kasihan, berharap orang yang dihampirinya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia rela melangkahkan kakinya yang begitu berat dari satu toko ke toko lainnya yang belum tentu mau memberikannya uang, bahkan selogam uang receh pun. Dia juga rela mengumpulkan receh demi receh dengan keadaannya yang seperti itu, hanya untuk sesuap nasi sehari-harinya.
Dunia ini memang terlihat begitu kejam. Bayangkan saja seorang tua seperti itu, yang mungkin sedang sakit-sakitan masih dibiarkan berkeliaran di jalan raya oleh keluarganya ataupun saudaranya, hanya untuk sesuap nasi. Mungkin saja orang tua ini memang sudah tidak punya lagi sanak keluarga yang merawatnya. Namun, pemandangan di depan mataku ini memberikanku sebuah pelajaran hidup bahwa Aku seharusnya malu melihat si orang tua yang keadaan fisiknya jauh lebih buruk dari padaku, mampu dan mau berjalan tanpa mengeluhkan capai, lelah, berat serta kesakitan yang mungkin ada pada tubuhnya. Tidak seperti Aku yang masih mampu berjalan normal tanpa dibantu oleh sebatang tongkat penyangga pun, sudah berpikir dan mengasihani diriku sendiri hanya karena lelah berjalan sehabis sembuh dari sakit. Namun, ditengah-tengah rasa malu itu, Aku mulai menyadari bahwa betapa beruntung dan bersyukurnya Aku yang walaupun makan bubur, tetapi masih bisa makan tanpa harus meminta-minta di kala ku sedang sakit. Bukan hanya itu saja, Aku pun merasa sangat bersyukur karena ketika Aku sakit masih ada ibu, ayah serta saudara-saudaraku yang masih mau merawatku, tidak seperti si kakek itu.
Lalu kemanakah lenyapnya rasa syukur itu ketika kita sedang sakit? Rasa syukur itu seakan menghilang, seakan pudar oleh derita yang menurut kita teramat berat dan sulit, derita yang sesungguhnya teramat kecil di mata dunia. Terkadang kita lupa untuk mensyukuri hidup dan kehidupan kita di kala kita sedang menderita. Kita juga lupa kalau bersyukur itu artinya merasa bahagia atas apa pun kondisi yang datang dalam hidup kita, merasa bahagia atas apa yang dimiliki dan menghargai atas apa yang sudah kita dapatkan. Apakah hanya karena sakit rasa syukur itu menghilang? Apakah hanya karena penderitaan fisik rasa syukur itu pudar? Dunia begitu luas, penderitaan kita begitu kecil. Rasa syukur ini pun kembali membangkitkan semangatku untuk berjalan pulang menuju rumah. Ingin rasanya membantu si orang tua itu, namun apa daya Aku pulang tak berbekal satu sen pun.
Selfy Parkit’08,
Thanks to My Parents and all My Friends
Daftar pustaka :
Dhammika, Shravasti. Dasar Pandangan Agama Buddha. Cetakan kedua. Yayasan Dhammadipa Arama, Surabaya,