Hari ini mungkin akan jadi hari bersejarah buat saya, karena ga tau kenapa saya mo menulis sesuatu hal yang sifatnya amat pribadi banget buat saya. Tapi ini sebuah kenyataan yang ga bisa dipungkiri, karena suatu saat setiap orang yang mengenal saya pun akan mempertanyakan kebenarannya, dan akhirnya tau tentang kenyataan yang ada pada saya. Mungkin bedanya kalo saya ga nulis artikel ini khalayak ramai tidak akan mengetahuinya, tapi apalah artinya diketahui ato tidak akan sama saja adanya. Awalnya saya agak ragu untuk mempublish tulisan ini, mengingat tulisan ini mungkin akan memberikan luka bagi sebagian orang di dalamnya. Namun, karena saya rasa bukan saya saja yang mengalami kejadian serupa, maka dengan pikiran yang positif saya berharap tulisan ini malah bisa bermanfaat bagi orang banyak, terutama buat orang2 yang merasa dirinya kesepian dan menderita karena sesuatu ato bahkan mengalami kejadian seperti apa yang saya alami. So, untuk ayahandaku, adikku dan mamaku tercinta yang saat ini ada di dalam kehidupanku, maafkanlah diriku yang telah lancang menceritakan semua yang telah lalu.
Aku berbeda denganMu dan yang Lain
Sekilas memang nampak sama, warna kulit, bentuk wajah, dan ukuran tubuh. Ya saya memang mirip dengan orang-orang di sekeliling saya, tapi nyatanya saya beda. Karena semua yang ada cuma dimirip-miripkan saja alias kebetulan ada yang sama antara saya dengan adik-adik saya. Tapi Anda ternyata salah besar… saya ini berbeda dari adik-adik saya, apalagi kalo ada temen-temen ato orang lain yang main ke rumah pasti pertanyaannya ‘kok muka lo beda ya sama adik-adik lo’ (maksudnya ade saya yang cakep, saya yang kebagian jeleknya haha). Tapi ini asli beda banget, warna kulit adik-adik saya dua-duanya
Childhood, Peran Pengganti
Kenyataan saya sebagai anak tiri memang saatnya harus saya akui dan saya terima dengan lapang dada. Rasanya saya pun tidak perlu malu mengungkapkannya kepada publik dan teman-teman sekitar saya mengenai keadaan saya yang sesungguhnya. Dengan begitu saya bisa menerima bokap dan diri saya apa adanya. Mungkin dulu saya belum bisa menerima kenyataan ini mengingat apa yang saya alami begitu menyakitkan bagi saya. Di balik keceriaan saya, ternyata mungkin dulu saya ini memang anak yang terlalu sensitif, ya jadinya keadaan yang saya alami itu benar-benar memengaruhi mental saya saat itu. Saya ditinggal oleh bokap kandung saya (mereka sudah menikah), semenjak saya belum dilahirkan dan masih di dalam kadungan nyokap. Saat itu nyokap menjalani hidupnya seorang diri untuk menghidupi saya hingga saya besar (Thanks ya Mom you’re the best). Untuk memenuhi kebutuhan, nyokap bekerja di luar kota dan saya terpaksa diasuh oleh nenek saya selama kurang lebih delapan tahun lamanya. Ketika saya berumur sekitar lima tahun, nyokap saya menikah lagi dengan duda beranak tiga (karena dijodohkan), dia bokap saya yang sekarang. Mereka akhirnya menghasilkan dua orang anak perempuan yang jarak tempuhnya masing-masing berbeda jauh yaitu beda 6 dan 13 dengan saya, dan semua anak bokap tinggal dengan mantan istrinya yang sudah menikah juga lalu punya anak dari suaminya yang sekarang. Waktu itu jujur saja saya belum mengerti tentang konsep mengenai seorang ibu dan ayah dalam keluarga, yang saya tahu adalah nenek saya adalah orang yang dekat dengan saya dan yang paling saya sayang. Rasanya peran nyokap saya menjadi tidak terlalu berarti saat itu, karena yang saya rasakan adalah saya sudah mendapatkan peran itu dari nenek saya. Nyokap pernah cerita, jadi.. kalo dia pulang dari kota, saya cuma akan menghampirinya, dapet coklat darinya, trus pergi main lagi deh (anak durhaka.. Hihihi). Sama halnya dengan bokap saya yang sekarang, dulu saya hanya mengenal dia sebagai seseorang yang harus saya panggil dengan sebutan “Cecek”, katanya sih “Ciong” kalo panggil dia Papa. Lucunya lagi sebenarnya peran dia pun sudah saya dapatkan dari suami adik nyokap saya, yang nyata-nyata saya panggil dengan sebutan “Papa” bahkan sampe sekarang pun dia masih saya panggil “Papa” (sayangnya mereka sudah bercerai). Setelah menikah, nyokap saya ga perlu lagi bekerja di Jakarta, saat itu dia bisa tinggal bersama dengan saya. Tapi walopun ada nyokap, saya tetep lengket dengan nenek saya, secara saya sudah mengenal sosok seorang ibu pada dirinya sejak saya bayi (bahkan saya ingat kalo beliau pernah menyusui saya. Walo tidak ada ASI nya, tapi saya yang merengek pun akhirnya terdiam). Makanya tidur pun saat itu masih satu ranjang dengan nenek (saya panggilnya EMA). Oleh karenanya saya sama sekali tidak pernah merasakan bahwa mereka adalah kedua orang tua saya, sampai akhirnya nenek saya meninggal dunia di umur saya yang ke-sembilan tahun.
Terasing di Dunia
Sekembalinya nyokap di kehidupan saya, dengan seorang ayah baru ternyata tidak merubah keadaan saya menjadi seperti seorang anak pada umumnya. Saya masih sering bermain dengan nenek, dengan orang yang saya panggil Papa beserta kedua anak-anaknya. Namun, setelah kelahiran ade saya yang kedua saya sudah mulai tidur bareng di kamar nyokap (ini pun karena nenek kena sakit kanker payudara, jadi karena sedang sakit saya diungsikan untuk tidur dengan nyokap) dan kadang-kadang diajak makan bersama di restoran. Berbicara soal makan saya jadi inget kejadian yang sampe sekarang masih tertanam di dalam alam bawah sadar saya, dan sebegitu menyakitkannya bagi saya saat itu, sampai-sampai kalo saya ingat sekarang, tak terasa saya bisa mengeluarkan air mata dengan begitu mudahnya. Kisah-kisahnya memang cukup sederhana, tapi bagi seorang anak kecil yang sensitif dan merasa dirinya seorang diri, hal itu dirasakan amat menyedihkan dan membuat luka yang begitu dalam pada batinnya. Waktu itu nyokap dan bokap bersama dengan ade pertama saya makan di restoran ‘Kentuky Fried Chicken’. Sesaat hidangan yang dipesan pun tiba bersamaan dengan minuman di dalam botol yang diletakan bersebelahan dengan piring makan. Ketika sedang makan dan berusaha menyobek kulit ayam goreng yang dilapisi dengan tepung tersebut, si Selfy kecil tanpa sengaja menyenggol botol kaca yang berada di atas meja. Pyang… pecahlah botol minuman tersebut. Orang-orang di sekitar tempat duduk kami pun semua menolehkan mukanya ke arah kami, terutama ditujukan kepada seorang anak kecil yang imut dan lugu dengan wajah yang ketakutan. Kemarahan dan rasa malu pun saat itu meliputi wajah kedua orang tua saya. Saya lalu dimarahi habis-habisan, tidak hanya di restoran, di rumah pun saya masih kena sasaran dari sisa kemarahan dan sindiran-sindiran tajam perihal perbuatan memalukan karena memecahkan sebuah botol minuman mineral. Sepulang dari rumah, saya hanya bisa menangis di pangkuan nenek saya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Ternyata, tidak hanya makan di restoran saja yang membuat saya begitu sensitif dan merasa terasing di dunia, acara makan di rumah pun terkadang membuat saya meninikkan air mata di dalam hati. Namun bukan sebab perbuatan saya yang dianggap memalukan karena memecahkan barang, tapi karena saya merasa tidak diterima dan tidak layak untuk makan bersama. Ada kalanya bokap bilang pada saya ketika makan, ‘makannya jangan banyak-banyaklah, jangan ginilah, jangan gitulah, jangan..jangan..jangan..’ sedangkan ade saya boleh dan tidak dikomentari. Lalu dengan sorotan pandangan mata yang tajam kadang-kadang dia akan memarahi saya, jika saya melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan dirinya. (hiks.. hiks.. perasaan saya terlalu sensitif ya!!! Tapi itulah perasaan yang saya rasakan saat itu, sedih dan merasa tidak diterima). Parahnya lagi saya merasa nyokap saya dulu memang kurang perhatian dan kasih sayang terhadap saya dibandingkan sekarang dan beberapa tahun yang lalu. Hal ini membuat saya semakin amat sangat..sangat.. sangat terasingkan. Wajar aja sih, saya kan anak buangan dari orang yang pernah nyakitin beliau, dilahirkan saja sudah bersyukur. Jadi, kalo saya sedang bermasalah dengan bokap, nyokap bakal menyelamatkan dan membela bokap habis-habisan dibanding saya. Tetapi setelah saat ini saya renungi, saya menjadi mengerti kalo nyokap berbuat begitu juga demi kebaikan dan kasih sayangnya terhadap keluarga, serta untuk menyelamatkan pernikahannya yang kedua. Banyak kasus mengenai masalah saya dengan bokap, dari kecil hingga saya remaja dan semua kasus tersebut selalu dimenangkan oleh bokap dengan hasil saya yang harus terlebih dahulu meminta maaf, walaupun saya adalah satu-satunya korban dari kekerasan batin (kenapa saya bilang begini, karena dulu bokap kalo emosi suka lempar barang), Saya pernah dilempar dengan Lorry
Dunia ini hanya untuk Ade, Mama dan Cecek
Ketika kecil ada satu hal yang terkadang membuat saya berpikir kalo dunia ini ada hanya untuk Nyokap, Bokap dan Ade saya saja, dan saya tak termasuk di dalamnya. Terlebih lagi pada saat saya bermasalah dengan ade saya dan buntut-buntutnya saya yang harus dipersalahkan. Namun, tak menjadi masalah dan bukan itu yang menyakitkan, kata-kata ade saya lah yang kadang-kadang lebih menyakitkan dan lebih tajam daripada pisau. Kalo dia merasa marah, dia akan bilang “Ini punya Papa saya, ato ini Papa saya yang beli, ato bla bla bla bla…” (Ternyata saya bukan saja sensitif dengan bokap dan nyokap saya, tapi rupanya saya pun sensitif dengan ade saya yang masih kecil itu dan belum tau dengan apa yang sedang diomonginya itu. Walupun dia tau saya ini bukan anak dari bokapnya, tapi masa iya dia punya niat buat nyakitin hati saya). Keadaan-keadaan seperti itulah yang akhirnya membuat saya sempat berpikir bahwa saya seharusnya tidak ada dan tidak dilahirkan di tengah-tengah keluarga ini. Saya ingin lari jauh dari rumah, saya ingin pergi, namun untungnya saya anak cewe yang ga berani nekad dan masih memikirkan orang lain. (lagian mo pegi ke mana? Tapi hal ini tidak pernah menghentikan pikiran saya untuk berniat minggat pergi dari rumah). Kejadian demi kejadian membuat saya dan kedua orang tua saya jadi jarang berkomunikasi, khususnya urusan pribadi ataupun berkisar dengan perasaan. keadaan ini membuat saya menjadi menutup diri kepada dunia luar dan berdampak kepada perkembangan mental saya yang susah dalam mengutarakan serta mengungkapkan kemauan dan isi hati. Karena itulah ada satu titik di mana saya jadi kurang bisa bergaul dengan orang lain ataupun teman-teman sebaya saya saat itu. Namun sifat saya yang pada dasarnya periang dan humoris, kadang-kadang bisa menutupi luka batin saya, jadi pada momen-momen tertentu saja saya tidak selamanya bermurung durja.
Menerima Kenyataan dan Diriku Apa Adanya.
Perseteruan antara saya dan bapak tiri saya ternyata terus berlanjut hingga saya remaja, namun kali ini saya menjadi semakin bandel dan sedikit tak mendengarkan larangan bokap saya. Walopun begitu, urusan prestasi sekolah saya tetap menjadi nomor satu bagi saya. Bokap saya memang keras dan pemikir yang brilliant, namun sayangnya kurang sesuatu di dalam dirinya, yaitu kurang usaha, cinta dan kasih sayang serta sedikit egois. Walaupun begitu, pernah suatu ketika dia terbuka dan menangis menceritakan masa kecilnya kepada saya. Saat itu saya habis dimarahi karena pulang larut malem dari suatu kegiatan, mungkin karena merasa kesal dengan saya yang tidak mo mendengarkan nasihat dia untuk keluar dari kegiatan, maka menangislah kami berdua ketika dia memarahi saya dan mengingat masa-masa kecilnya. Kehidupan masa kecil bokap saya ternyata jauh lebih memprihatikan dibandingkan dengan keadaan saya saat itu. Dia lahir tanpa kasih sayang dari seorang ibu bahkan tanpa mengenal bagaimana dan siapa ibunya. Dia pun dibesarkan di keluarga orang lain, yaitu kakak tiri dari ayahnya. Dia sudah biasa bekerja dan menghidupi dirinya sendiri, bahkan sedari kecil. Mendengarkan kisahnya itu membuat saya sedikit memahami beliau, kalo selama ini beliau pun merasa kesepian dan ketakutan seperti saya, hanya saja mungkin konteksnya yang agak berbeda. Kehidupannya di dalam keluarga yang tidak utuh dan pengalaman masa kecilnya membentuk dia yang sekarang, seseorang yang tidak bisa mengekspresikan cintanya kepada orang sekitar yang dicintainya. Kisah kehidupan saya dan bokap saya ini, ternyata bukan saja terjadi pada diri saya dan bokap saya. Tetapi, ada sebagian ato mungkin banyak orang yang juga mengalaminya. Kenyataannya masih banyak orang-orang yang mengalami keadaan dan penderitaan yang jauh lebih buruk daripada apa yang saya alami. Contohnya, beberapa waktu lalu di sebuah pelatihan seminar yang saya hadiri selama 3 hari, saya pun bertemu dengan seseorang yang keadaannya malah jauh lebih parah dibandingkan saya. Masalahnya kurang lebih sama yaitu masalah merasa tidak diterima oleh keluarga, walaupun kedua orang tua itu adalah orang tua kandungnya. Kasus-kasus semacam ini terkadang membuat saya menjadi tersadarkan dan merasa bersyukur atas apa yang saya miliki saat ini. Karena pada dasarnya label tidak memengaruhi kebahagiaan kita. Ingat saya, ada beberapa kejadian yang akhirnya membuat saya terharu dan merasa bokap sudah berubah, saat itu saya pun bersyukur karena memiliki orang tua seperti dia. Beberapa kejadian diantaranya adalah ketika saya mau mandi dan melihat seekor kodok di dalamnya, dengan spontan saya keluar dari kamar mandi dan menjerit karena geli. Pagi itu seketika Bokap saya dengan gagah berani masuk ke dalam kamar mandi dan bersusah payah mengejar-ngejar serta menangkap kodok tersebut demi saya. Di samping itu, Bokap pun penah aktif mengantar saya pergi kerja ke tempat yang letaknya lumayan jauh setiap paginya dengan sepeda motor, dan banyak lagi hal-hal yang membuat saya semakin berusaha untuk menyayanginya. Memang ada kalanya kita selalu berpersepsi, berpikiran dan memutuskan dengan apa yang kita pikirkan. Hal-hal ini membuat kita terkadang merasa menjadi seseorang yang paling menyedihkan dan menderita di dunia ini. Perasaan-perasaan inilah yang tak hentinya membuat kita memusuhi dunia di sekeliling kita, dan karena itulah mata hati kita terkadang tidak terbuka oleh perubahan-perubahan yang sudah terjadi di hadapan kita. Kesalahan-kesalahan memang akan terjadi di dalam kehidupan kita, namun sebuah kenyataan bukanlah sebuah kesalahan yang sekonyong-konyong hadir di dalam kehidupan kita. Semua itu tentu terjadi karena adanya sebab. Untuk itu, kenangan-kenangan buruk yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi sebuah inspirasi dan pelajaran bagi kita untuk bisa menerima kenyataan apa adanya, dan tidak mengulangi kejadian serupa kepada anak-anak kita ataupun orang lain di dalam kehidupan kita. Pada dasarnya sebuah label tidaklah begitu penting, yang paling penting dari semua itu adalah ketulusan dan kualitasnya. Orang tua kandung ato bukan, tidak menjadi masalah, selama saling memberikan kasih sayang, perlindungan dan tanggung jawab secara tulus, maka Orang tua tIri pun menjadi lebih berarti dan baik daripada mereka yang kita anggap sebagai orang tua kandung namun tidak pernah ada dan memenuhi kewajibannya sebagai orang tua. Kenyataan-kenyataan yang menurut saya pahit di waktu lalu, ternyata memberikan saya suatu pelajaran bahwa saya harus menerima kenyataan dan diri saya apa adanya, serta tidak mengulanginya kepada orang lain dikemudian hari. Begitu pula halnya saya pun harus berusaha untuk menerima segala kekurangan yang ada pada diri bokap tiri saya di kehidupan saya saat ini.
Lihatlah di sekeliling kita tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang mengalami traumatik serupa di dalam keluarga. Lihatlah di sekeliling kita tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang mengalami penderitaan jauh lebih hebat dibandingkan dengan traumatik yang kita alami, seperti kelaparan, kehausan, tidak punya tempat tinggal dan membutuhkan uluran tangan serta kasih sayang dari kita. Lihatlah di sekeliling kita dan kita akan mengerti kalau penderitaan yang kita alami amatlah kecil di mata dunia.
Bagi saudara-saudaraku yang mengalami hal serupa atau bahkan lebih… cobalah untuk berusaha membuka lembaran hidup yang baru dengan menerima kenyataan apa adanya serta menerima semua kekurangan-kekurangan yang ada pada orang tua kita. Karena pada dasarnya mereka pun sama seperti kita mencintai dan membutuhkan cinta.
Thanks for my Mom, Dad and my Sisters, I Love You all…
With love,
Selfy Parkit
15th June 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar